Artikel DR Stephen Carr Leon patut menjadi renungan bersama. Stephen
menulis dari pengamatan langsung. Setelah berada tiga tahun di Israel
karena menjalani housemanship di beberapa rumah sakit disana. Dirinya
melihat ada beberapa hal yang menarik yang dapat ditarik sebagai bahan
tesisnya, yaitu, “Mengapa Yahudi Pintar?”

Ketika tahun kedua, akhir bulan Desember 1980, Stephen sedang
menghitung hari untuk pulang ke California, terlintas dibenaknya, apa
sebabnya Yahudi begitu pintar? Kenapa Tuhan memberi kelebihan kepada
mereka? Apakah ini suatu kebetulan? Atau hasil usaha sendiri?
Maka Stephen tergerak membuat tesis untuk PhD-nya. Sekadar untuk Anda
ketahui, tesis ini memakan waktu hampir 8 tahun. Karena harus
mengumpulkan data-data yang setepat mungkin.

Marilah kita mulai dengan persiapan awal melahirkan. Di Israel,
setelah mengetahui sang ibu mengandung, sang ibu akan sering menyanyi
dan bermain piano. Si ibu dan bapak akan membeli buku matematika dan
menyelesaikan soal bersama suami.
Stephen sungguh heran karena temannya yang mengandung sering membawa
buku matematika dan bertanya beberapa soal yang tak dapat
diselesaikan. Kebetulan Stephen suka matematika.
Stephen bertanya, “Apakah ini untuk anak kamu?” Dia menjawab, “Iya,
ini untuk anak saya yang masih didalam kandungan, saya sedang melatih
otaknya, semoga ia menjadi jenius.” Hal ini membuat Stephen tertarik
untuk mengikuti terus perkembangannya.
Kembali ke matematika tadi, tanpa merasa jenuh si calon ibu
mengerjakan latihan matematika sampai genap melahirkan. Hal lain yang
Stephen perhatikan adalah cara makan. Sejak awal mengandung sang ibu
suka sekali memakan kacang badam dan korma bersama susu.

Tengah hari makanan utamanya roti dan ikan tanpa kepala bersama salad
yang dicampur dengan badam dan berbagai jenis kacang.
Menurut wanita Yahudi itu, daging ikan sungguh baik untuk perkembangan
otak dan kepala ikan mengandung kimia yang tidak baik yang dapat
merusak perkembangan dan pertumbuhan otak anak di dalam kandungan. Ini
adalah adat orang-orang Yahudi ketika mengandung. Menjadi semacam
kewajiban untuk ibu-ibu yang sedang mengandung mengkonsumsi pil minyak
ikan..

“Ketika saya diundang untuk makan malam bersama orang-orang Yahudi,
perhatian utama saya adalah menu mereka. Pada setiap undangan yang
sama saya perhatikan, mereka gemar sekali memakan ikan (hanya isi atau
fillet).”
Biasanya kalau sudah ikan, tidak ada daging. Ikan dan daging tidak ada
bersama di satu meja. Menurut mereka, campuran daging dan ikan tak
bagus dimakan bersama. Salad dan kacang adalah suatu kemestian,
terutama badam.
Uniknya, mereka akan memakan buah-buahan dahulu sebelum memakan
hidangan utama. Jangan terperanjat jika Anda diundang ke rumah Yahudi
Anda akan dihidangkan buah-buahan dahulu. Menurut mereka, dengan
memakan hidangan karbohidrat (nasi atau roti) dahulu kemudian buah-
buahan, ini akan menyebabkan kita merasa mengantuk, lemah dan payah
untuk memahami pelajaran di sekolah.

Di Israel, merokok adalah tabu, apabila Anda diundang makan di rumah
Yahudi, jangan sekali-kali merokok. Tanpa sungkan mereka akan menyuruh
Anda keluar dari rumah mereka, menyuruh Anda merokok di luar rumah.
Menurut ilmuwan di Universitas Israel, penelitian menunjukkan nikotin
dapat merusakkan sel utama pada otak manusia dan akan melekat pada
gen. Artinya, keturunan perokok bakal membawa generasi yang cacat otak
(bodoh). Suatu penemuan yang dahsyat ditemukan oleh saintis yang
mendalami bidang gen dan DNA.
Perhatian Stephen selanjutnya adalah mengunjungi anak-anak Yahudi.
Mereka sangat memperhatikan makanan. Makanan awal adalah buah-buahan
bersama kacang badam, diikuti dengan menelan pil minyak ikan (code oil
lever).

Dalam pengamatan Stephen, anak-anak Yahudi sungguh cerdas. Rata-rata
mereka memahami tiga bahasa yaitu Hebrew, Arab, dan Inggris. Sejak
kecil mereka telah dilatih main piano dan biola. Ini adalah suatu
kewajiban. Menurut mereka bermain musik dan memahami not dapat
meningkatkan IQ. Sudah tentu bakal menjadikan anak pintar.
Ini menurut saintis Yahudi, hentakan musik dapat merangsang otak. Tak
heran banyak pakar musik dari kaum Yahudi.
Seterusnya di kelas 1 hingga 6, anak-anak Yahudi akan diajar
matematika berbasis perniagaan. Pelajaran IPA sangat diutamakan. Di
dalam pengamatan Stephen, perbandingan anak-anak di Calfornia, dalam
tingkat IQ-nya bisa dikatakan 6 tahun kebelakang!
“Segala pelajaran akan dengan mudah ditangkap oleh anak Yahudi. Selain
dari pelajaran tadi, olahraga menjadi kewajiban bagi mereka. Olahraga
yang diutamakan ialah memanah, menembak, dan berlari. Menurut teman
saya ini memanah dan menembak dapat melatih otak memfokus sesuatu
perkara disamping mempermudah persiapan membela negara.”

“Selanjutnya perhatian saya menuju ke sekolah tinggi (menengah) disini
murid-murid digojlok dengan pelajaran sains. Mereka didorong untuk
menciptakan produk. Meski proyek mereka kadangkala kelihatannya lucu
dan memboroskan, tetap diteliti dengan serius. Apalagi kalau yang
diteliti itu berupa senjata, medis, dan teknik. Ide itu akan dibawa ke
jenjang yang lebih tinggi.”
“Satu lagi yang diberi keutamaan ialah fakultas ekonomi. Saya sungguh
terperanjat melihat mereka begitu agresif dan serius belajar ekonomi.
Di akhir tahun di universitas, mahasiswa diharuskan mengerjakan
proyek. Mereka harus mempraktekkannya. Dan Anda hanya akan lulus jika
tim Anda (10 pelajar setiap tim) dapat keuntungan sebanyak US$ 1 juta!
Anda terperanjat? Itulah kenyataannya. “
Kesimpulan, pada teori Stephen adalah, melahirkan anak dan keturunan
yang cerdas adalah keharusan. Tentunya bukan perkara yang bisa
diselesaikan semalaman. Perlu proses, melewati beberapa generasi
mungkin?

Kabar lain tentang bagaimana pendidikan anak adalah dari saudara kita
di Palestina. Mengapa Israel mengincar anak-anak Palestina? Terjawab
sudah mengapa agresi Israel yang biadab dari 27 Desember 2008 kemarin
memfokuskan diri pada pembantaian anak-anak Palestina di Jalur Gaza.
Seperti yang kita ketahui, setelah lewat dua minggu, jumlah korban
tewas akibat Holocaust itu sudah mencapai lebih dari 900 orang. Hampir
setengah darinya adalah anak-anak. Selain karena memang tabiat Yahudi
yang tidak punya nurani, target anak-anak bukanlah kebetulan belaka.
Sebulan lalu, seusai Ramadhan 1429 Hijriah, Ismail Haniya, pemimpin
Hamas, melantik sekitar 3500 anak-anak Palestina yang sudah hafidz al-
Qur’an.
Anak-anak yang sudah hafal 30 juz al-Qur’an ini menjadi sumber
ketakutan Zionis Yahudi. “Jika dalam seusia muda itu mereka sudah
menguasai al-Qur’an, bayangkan 20 tahun lagi mereka akan jadi seperti
apa?” demikian pemikiran yang berkembang di pikiran orang-orang
Yahudi.

Tidak heran jika anak Palestina menjadi para penghapal al-Qur’an.
Kondisi Gaza yang diblokade dari segala arah oleh Israel menjadikan
mereka terus intens berinteraksi dengan al-Qur’an. Tak ada yang main
playstation atau game. Namun kondisi itu memacu mereka untuk menjadi
para penghapal yang masih begitu belia. Kini, karena ketakutan sang
penjajah, sekitar 500 bocah penghapal al-Qur’an itu telah syahid.

Perang panjang dengan Yahudi akan berlanjut entah sampai berapa
generasi lagi. Ini cuma masalah giliran. Sekarang Palestina dan besok
bisa jadi Indonesia. Ambil contoh tetangga kita yang terdekat,
Singapura.
Contoh yang penulis ambil sederhana saja, rokok. Benarkah merokok
dapat melahirkan generasi “goblok”? Kata goblok diambil bukan dari
penulis, tapi kata itu dari Stephen Carr Leon sendiri. Dia sudah
menemui beberapa bukti yang menyokong teori ini. “Lihat saja
Indonesia,” katanya seperti dalam tulisan itu. “Jika Anda ke Jakarta,
dimana saja Anda berada; dari restoran, teater, kebun bunga hingga ke
museum, hidung Anda akan segera mencium asap rokok! Dan harga rokok?
Cuma 70 sen dolar! Hasilnya! Dengan penduduk berjumlah jutaan orang,
ada berapa banyakkah universitas? Hasil apakah yang dapat dibanggakan?
Teknologi? Jauh sekali. Adakah mereka dapat berbahasa selain dari
bahasa mereka sendiri? Mengapa mereka begitu sukar sekali menguasai
bahasa Inggris? Di tangga berapakah kedudukan mereka di pertandingan
matematika sedunia? Adakah ini bukan akibat merokok? Anda pikirlah
sendiri?”

Source:http://newsgroups.derkeiler.com/Archive/Soc/soc.culture.indonesia/2009-03/msg01654.html