Saling pinjam dan berbagi barang antar kakak-adik atau teman sepermainan sesungguhnya tidak
masalah. Asal, tidak main serobot tentunya.

Rifki (10) suka sekali memakai kaos bola Zaki (12), kakaknya. Awalnya sih masih pakai izin, tapi sekarang justru lebih sering pinjam tanpa izin. Akibatnya Zaki kerap kesal karena saat ingin memakai kaos kesayangannya, kaos itu tidak ada. Puncak kekesalannya terjadi saat berlangsung pertandingan final sepakbola antar RW, kaosnya itu lagi-lagi sedang dipakai Rifki.

Begitu juga Zahra (10) yang suka memakai tas Barney milik Aisyah (6), adiknya. Mulanya, Zahra hanya meminjam saat ada kegiatan ekstrakurikuler saja. Tetapi lambat laun, setiap ada kesempatan, ia memakai tas adiknya itu ke sekolah. Bahkan setelah sebulan berselang, ia bilang pada semua orang bahwa tas itu adalah miliknya.

Belajar berbagi
Kalimat “Aku pinjam tasnya, boleh?” sepintas tampak sepele. Padahal, kemampuan pinjam-meminjam terkait dengan banyak hal. Mulai dari kemampuan menghargai hak milik orang lain, berbagi, sampai tanggung jawab menjaga barang sendiri maupun barang pinjaman. Menurut Ika Pambadjeng, Psi, Psikolog Q Consultan, berbagi adalah sebuah proses belajar dan termasuk satu bentuk ketrampilan yang harus terus diasah karena balita atau batita ‘ego’nya begitu tinggi.
Bagi seorang anak, saat tertarik pada barang tertentu dan muncul keinginan untuk memilikinya, mereka akan langsung mengambil atau menguasai barang tersebut dengan atau tanpa izin. Bahkan bagi anak, mereka tak perlu tahu siapa pemilik barang yang sebenarnya. “Kalau aku suka, ini punya aku. Semua barang punyaku,” Ika menirukan ucapan balita pada umumnya dalam memandang barang milik orang lain yang ditaksirnya. Tak heran, anak-anak jadi sering berantem dengan teman atau saudara dengan alasan rebutan.

Bila rentang usia kakak dan adik cukup jauh, misalnya kakak sudah SD dan adik masih balita, kakak bisa saja mengalah pada adiknya. Repotnya, bila usia anak sama-sama balita, atau sama-sama SD. Kebutuhan terhadap barang mereka sama besar, sementara kematangan untuk berbagi belum cukup. Bila keadaannya seperti itu, maka yang harus diajarkan adalah adab meminjam, bukan berbagi. Baik untuk barang-barang besar hingga kecil, seperti sepeda, bola, buku, mainan, dan sebagainya.

Sadar hak milik
Tumbuhnya kesadaran anak soal pinjam-meminjam barang harus dimulai dari pengajaran tentang hak kepemilikan barang. Anak harus tahu bahwa ada barang yang menjadi miliknya sendiri, milik orang lain, dan milik bersama. Siapa pun yang hendak memakai barang orang lain, termasuk orangtua, harus izin terlebih dahulu. Misalnya, “Ibu perlu pensil untuk menulis, bolehkah pinjam pensil Kakak?”

Sayangnya, orangtua justru sering lupa meminta izin bila mau meminjam barang dari anaknya dengan pikiran toh barang ini dari saya juga…saya yang membelikannya. Padahal dengan pembiasaan meminta izin, anak-anak belajar menghargai milik orang lain sekaligus terlatih juga untuk bertanggungjawab menjaga barang miliknya. Tanpa izin, maka seorang Kakak, misalnya, tidak berhak memakai tas Adik, seberapapun besar keinginannya untuk memakainya. Memakainya saja tidak berhak, apalagi mengakui sebagai miliknya. Sementara bila satu barang disepakati menjadi milik bersama, perlu ditetapkan kesepakatan-kesepakatan yang dirancang dan dipatuhi bersama pula. Misalnya, sepeda. Atur waktu pemakaian agar Kakak-Adik menyepakati waktu gilirannya.

Lamanya proses belajar menyadari pentingnya menghargai hak milik ini memang tidak sama pada setiap anak. Ada anak yang cepat paham, ada yang tidak. Ada juga anak yang paham, tapi tidak sabar. “Aku tahu ini punya Kakak, tapi aku mau pakai.” ujar Ika mencontohkan. Dalam keadaan seperti itu, orangtua perlu turun tangan menjelaskan atau dalam kondisi darurat, melerai, memahami masalahnya, melihat siapa yang salah, lalu mengambil tindakan untuk mengatasinya. Hanya saja perlu diingat, jelas psikolog jebolan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini lagi, penjelasan sebenarnya sedikit sekali pengaruhnya pada anak. Yang paling baik adalah memberikan pembiasaan.

Soal ketidaksabaran, biasanya berhubungan dengan kematangan emosi. Pada anak laki-laki, ketidaksabaran ini umumnya membuatnya cepat berkelahi. Untuk mengatasi keadaan itu, Ika menyarankan orangtua secara teknis menahan badannya, memeluk, supaya tidak terjadi pukul-pukulan, atau menenangkan kalau salah satu menangis. “Tapi intinya, semua harus dimulai dengan mengenalkan dan membiasakan. Ini punyaku, ini punya kamu, ini punya kita berdua, dan kalau mau meminjam harus minta izin,” saran Ika, yang juga menjadi konsultan di Birru Consulting ini. Untuk memudahkan, boleh saja orangtua melakukan hal yang kreatif, misalnya dengan memberi tanda, label, atau menempelkan foto pada barang masing-masing.

Belajar bertanggungjawab
Menumbuhkan kesadaran hak milik sebaiknya juga dibarengi proses mengajarkan tanggung jawab dengan memberikan penekanan pada tanggungjawab keseharian seperti “Ini sepatu Kakak, simpan yang baik, dijaga ya.” Begitu juga kalau barang anak rusak atau hilang oleh dirinya sendiri, jangan segera membantu atau menggantinya tetapi mintalah anak bertanggungjawab terlebih dahulu. Kesalahan yang sering dilakukan orangtua adalah tidak mempersoalkan keadaan barang anak-anak, apakah rusak, hilang, atau tertinggal di suatu tempat.

Konsistensi orangtua juga sering hilang karena tidak tahan tangisan anak. Dengan mudahnya, orangtua membelikan barang baru, apalagi jika harganya murah tanpa mempersoalkan kenapa barangnya rusak atau hilang. “Daripada anak nangis, balon kan cuma lima ratus. Udah beliin lagi aja…” ujar Ika menyayangkan prinsip salah kaprah para orangtua.

Anak yang tidak merasa bertanggungjawab terhadap barang miliknya, bahkan mudah saja memberikan barang itu pada orang lain, meski masih baru. Kelihatannya baik hati, tetapi menurut Ika tidak demikian. “Perilaku itu bukan menunjukkan kematangan perilaku dalam berbagi meskipun kelihatannya baik hati. Itu lebih dikarenakan anak tidak merasa memiliki tanggungjawab dan penghargaan atas barang miliknya, sehingga hilang pun tak jadi masalah,” jelasnya.

Karenanya perlu dipahami bahwa kemampuan berbagi justru dimulai dari kemampuan merasa memiliki terlebih dahulu, sehingga ketika anak memberikan barangnya kepada orang lain, ia akan merasa bahwa ia sedang memberikan atau meminjamkan miliknya kepada orang lain

Tak ada kata terlambat
Untuk mengajarkan tanggung jawab menjaga barang dan penyadaran hak milik, Ika menyarankan orangtua memulainya dari barang kesayangan anak seperti boneka, buku, bantal, dan sebagainya.

Sejak anak 3 tahun, orangtua sudah bisa mengajarkan, “Ayo simpan bukunya yang rapi, ya. Jangan sampai hilang.” Atau “Bonekanya jangan sampai hilang, ya, nanti kamu tak bisa tidur bareng boneka.” Atau “Ini punya kamu, kamu yang tanggung jawab, ya. Kamu harus mengurusnya sendiri.”

Memulainya memang paling baik pada saat anak masih balita, saat orangtua masih menguasai kehidupan anak seluruhnya. Bila anak sudah masuk SD, pembentukannya lebih sulit. “Anak SD perlu penjelasan, contoh yang lebih banyak, berkali-kali pula harus diiingatkan. Apalagi kalau remaja, yang merasa sudah punya otonomi sendiri,” tutur ibu dari satu anak ini.

Sebagai penutup Ika menjelaskan bahwa perubahan perilaku tak mungkin terjadi secara instan. Rumus dasarnya, berapa lama terbentuknya perilaku yang salah, selama itu pula harus diperbaiki. Jadi, kalau proses tidak bisa berbagi dan meminjamkan barang berlangsung sampai usia 9 tahun, kira-kira selama itu pulalah proses memperbaikinya. Meski demikian, tak ada kata terlambat, dan orangtua dapat memulainya serta membuat percepatan dengan mengubah perilakunya terlebih dahulu.

alhamdulillah si shakti mengerti dan tau cz dari kecil udah aku kasih tau sedini mungkin...senengnya anakku pinter