Migren bukanlah sakit kepala biasa. Dia bahkan bisa lebih menyakitkan. Jenis sakit kepala yang satu ini ditandai dengan gejala nyeri hebat, berdenyut-denyut, terutama di satu sisi kepala. Terkadang disertai rasa mual sampai muntah serta sensitif terhadap cahaya dan suara. Migren bisa dibedakan menjadi dua, yaitu migren umum dan migren klasik. Sebanyak 85 persen penderita mengeluh mengalami migren umum.

Migren ini hanya berupa sakit kepala sebelah tanpa disertai gejala lain. Sementara migren klasik yang diderita oleh 15 persen penderita, biasanya didahului keluhan gangguan penglihatan di salah satu mata. Gangguan itu berupa aura yaitu terlihatnya titik-titik atau garis bergelombang mengambang, bisa juga berupa kilatan atau gelombang-gelombang cahaya. Gangguan ini bisa berlangsung 5 menit sampai 1 jam sebelum migren muncul.

Sekitar 40-60 persen dari serangan migren akan diawali oleh apa yang dinamakan gejala pendahuluan. Gejala ini antara lain berupa gangguan tidur, gelisah, kelelahan, depresi, keinginan untuk menyantap makanan manis dan asin. Gejala awal ini biasanya sudah bisa dipahami oleh keluarga penderita sebagai suatu gejala pendahuluan sebelum terjadi serangan migren.

Sampai saat ini, penyebab migren belum dapat dipastikan. Namun, lebih dari separuh penderita memiliki keluarga dekat yang juga menderita migren, sehingga diduga ada kecenderungan bahwa penyakit ini diturunkan secara genetik. Migren bisa terjadi pada usia berapa saja, tetapi biasanya mulai timbul pada usia antara 10-30 tahun. Hanya, kadang penyakit ini menghilang setelah usia penderita mencapai 50 tahun.

Menurut penulis buku The Migraine Brain, Carolyn Bernstein, migren terjadi akibat sel di otak mengalami pembengkakan dan mengirimkan sinyal pada saat yang salah. Saraf-saraf otak yang lebih sensitif juga menyebabkan seseorang sering terkena migren.

Dibandingkan dengan pria, wanita memang lebih sering terserang migren. Sekitar 18 persen wanita mengeluh menderita migren, sementara pada pria hanya 6 persen. Umumnya, migren menyerang perempuan berusia 10-46 tahun dan berangsur-angsur menghilang setelah menopause.

Migren pada wanita terjadi akibat perubahan hormon estrogen di dalam tubuh. Pada masa haid dan setelah melahirkan, kadar estrogen di tubuh wanita menurun. Jika kadar hormon estrogen dalam tubuh wanita menurun, maka kadar serotonin di otak pun ikut turun.

Sementara pada saat kehamilan trimester pertama dan menjelang menopause, kadar estrogen berfluktuasi. Itu pulalah sebabnya mengapa sebelum masa haid, ketika hamil pada trimester pertama, setelah melahirkan, dan selama masa menjelang menopause wanita sering menderita migren.

”Selain karena faktor hormon, banyak juga perempuan yang terkena migren karena alasan psikologikal. Namun, naik-turunnya kadar hormon dalam tubuh wanita adalah penyebab paling jelas terjadinya migren,” kata Bernstein yang juga mendirikan Women’s Health Interactive (WHI) Headache Center di Cambridge, Amerika Serikat (AS).

Namun, ada pula wanita yang mengalami sakit kepala hormonal, yakni kepala nyut-nyutan pada sekitar masa subur. Bernstein menyarankan agar para perempuan mencatat masa menstruasi sehingga bisa menemukan kaitan dengan terjadinya migren. Faktor pemicu lain antara lain stres, terlambat makan, kurang istirahat juga kurang berolahraga.

Migren bisa pula dipicu oleh beberapa hal seperti kelelahan, terlalu banyak tidur, puasa, perubahan tekanan udara, cahaya berkedip dan sangat terang, berada di tempat yang tinggi (naik gunung, naik pesawat), wangi-wangian, kondisi stres, alkohol, keju basi, cokelat, penyedap masakan, asam-asaman, pemanis buatan, minuman (kopi berkafein, alkohol), dan nikotin dari rokok.


Bila hal-hal tersebut yang memicu, maka migren bisa diatasi dengan mengatur faktor-faktor pemicu ini seperti memperbaiki kebiasaan tidur (pergi tidur pada jam yang sama setiap hari), tidak merokok, mengurangi konsumsi kafein dan alkohol, berolahraga secara teratur, serta menjauhi stres dengan melakukan rileksasi. Sayang, hanya beberapa dari penderita migren yang dapat mengidentifikasi faktor pencetus terjadinya migren.

Tetapi, untuk pengobatan, sebaiknya individu yang menderita migren ringan dan jarang kambuh cukup meminum obat analgetik biasa. Sedangkan individu yang sering mengalami migren berat dan respons terhadap obat-obatan juga rendah, maka individu tersebut harus menghindari faktor pencetus dari migrennya dan memantapkan diri untuk mengubah gaya hidup.

Jika tidak ditangani dengan baik, migren diketahui dapat menurunkan produktivitas kerja. Sebuah riset yang dikerjakan American Headache Society mengevaluasi dampak dari serangan migren pada produktivitas karyawan dengan melakukan survey kepada lebih dari 500 orang karyawan yang menderita migren rata-rata dua sampai delapan kali dalam satu bulan. Hasilnya, jumlah total jam kerja yang berkurang akibat migren bagi kebanyakan karyawan yang tetap bekerja saat terserang migren hampir sama dengan karyawan yang memilih tidak masuk kantor. Di penelitian lain menyebutkan, karyawan yang menderita 15 kali atau lebih migren dalam satu bulan akan kehilangan produktivitas kerja rata-rata 4,5 jam seminggu