Besarnya Jasa Ibu

Apa yang paling dinanti seorang wanita yang baru saja menikah ?
Sudah pasti jawabannya adalah : k-e-h-a-m-i- l-a-n.
Seberapa jauh pun jalan yang harus ditempuh, Seberat apa pun langkah
yang mesti diayun, Seberapa lama pun waktu yang harus dijalani, Tak
kenal menyerah demi mendapatkan satu kepastian dari seorang bidan:
"p-o-s-i-t-i- f".
Meski berat, tak ada yang membuatnya mampu bertahan hidup kecuali
benih dalam kandungannya.
Menangis, tertawa, sedih dan bahagia tak berbeda baginya, karena ia
lebih mementingkan apa yang dirasa si kecil di perutnya.
Seringkali ia bertanya : menangiskah ia? Tertawakah ia? Sedihkah
atau bahagiakah ia di dalam sana?
Bahkan ketika waktunya tiba, tak ada yang mampu menandingi cinta
yang pernah diberikannya, ketika itu mati pun akan dipertaruhkannya
asalkan generasi penerusnya itu bisa terlahir ke dunia.
Rasa sakit pun sirna, ketika mendengar tangisan pertama si buah
hati, tak peduli darah dan keringat yang terus bercucuran.
Detik itu, sebuah episode cinta baru saja berputar.

Tak ada yang lebih membanggakan untuk diperbincangkan selain anak.
Tak satu pun tema yang paling menarik untuk didiskusikan bersama
rekan sekerja, teman sejawat, kerabat maupun keluarga, kecuali anak.
Si kecil baru saja berucap "Ma?" segera ia mengangkat telepon
untuk mengabarkan ke semua yang ada di daftar telepon.
Saat baru pertama berdiri, ia pun berteriak histeris, antara haru,
bangga dan sedikit takut si kecil terjatuh dan luka.
Hari pertama sekolah adalah saat pertama kali matanya menyaksikan
langkah
awal kesuksesannya. Meskipun disaat yang sama, pikirannya terus
menerawang dan bibirnya tak lepas berdoa, berharap sang suami tak
terhenti rezekinya.
Agar langkah kaki kecil itu pun tak terhenti di tengah jalan.

"Demi anak", "Untuk anak", menjadi alasan utama ketika ia berada di
pasar berbelanja keperluan si kecil. Saat ia berada di pesta
seorang kerabat atau keluarga dan membungkus
beberapa potong makanan dalam tissue. Ia selalu mengingat anaknya
dalam setiap suapan nasinya, setiap gigitan kuenya, setiap kali hendak
berbelanja baju untuknya.
Tak jarang, ia urung membeli baju untuk dirinya sendiri dan
berganti mengambil baju untuk anak. Padahal, baru kemarin sore ia
membeli baju si kecil.
Meski pun, terkadang ia harus berhutang. Lagi-lagi atas satu alasan,
demi anak.

Di saat pusing pikirannya mengatur keuangan yang serba terbatas,
periksalah catatannya.
Di kertas kecil itu tertulis: 1. Beli susu anak; 2. Uang sekolah anak.
Nomor urut selanjutnya baru kebutuhan yang lain. Tapi jelas di
situ, kebutuhan anak senantiasa menjadi prioritasnya.
Bahkan, tak ada beras di rumah pun tak mengapa, asalkan susu si
kecil tetap terbeli.
Takkan dibiarkan si kecil menangis, apa pun akan dilakukan agar
senyum dan tawa riangnya tetap terdengar.

Ia menjadi guru yang tak pernah digaji, menjadi pembantu yang tak
pernah dibayar, menjadi pelayan yang sering terlupa dihargai, dan
menjadi babby sitter yang paling setia.
Sesekali ia menjelma menjadi puteri salju yang bernyanyi merdu
menunggu suntingan sang pangeran.
Keesokannya ia rela menjadi kuda yang meringkik, berlari
mengejar dan menghalau musuh agar tak mengganggu.
Atau ketika ia dengan lihainya menjadi seekor kelinci yang
melompat-lompat mengelilingi kebun, mencari wortel untuk makan
sehari-hari. Hanya tawa dan jerit lucu yang ingin didengarnya dari
kisah-kisah yang tak pernah absen didongengkannya.
Kantuk dan lelah tak lagi dihiraukan, walau harus menyamarkan
suara menguapnya dengan auman harimau. Atau berpura-pura si nenek
sihir terjatuh dan mati sekadar untuk bisa memejamkan mata
barang sedetik. Namun, si kecil belum juga terpejam dan memintanya
menceritakan dongeng ke sekian.
Dalam kantuknya, ia pun terus mendongeng.

Tak ada yang dilakukannya di setiap pagi sebelum menyiapkan
sarapan anak-anak yang akan berangkat ke kampus.
Tak satu pun yang paling ditunggu kepulangannya selain suami dan
anak-anak
tercinta. Serta merta kalimat, "sudah makan belum?" tak lupa
terlontar
saat baru saja memasuki rumah. Tak peduli meski si kecil yang dulu
kerap ia timang dalam dekapannya itu, sekarang sudah menjadi orang
dewasa yang bisa saja membeli makan siangnya sendiri di kampus.

Hari ketika si anak yang telah dewasa itu mampu mengambil
keputusan
terpenting dalam hidupnya, untuk menentukan jalan hidup
bersama
pasangannya, siapa yang paling menangis? Siapa yang lebih dulu
menitikkan air mata? Lihatlah sudut matanya, telah menjadi
samudera air mata dalam sekejap. Langkah beratnya ikhlas mengantar
buah hatinya ke kursi pelaminan.
Ia menangis melihat anaknya tersenyum bahagia dibalut gaun
pengantin. Di saat itu, ia pun sadar, buah hati yang
bertahun-tahun menjadi kubangan curahan cintanya itu tak lagi
hanya miliknya. Ada satu hati lagi yang tertambat, yang dalam
harapnya ia berlirih, "Masihkah kau anakku?"

Saat senja tiba. Ketika keriput di tangan dan wajah mulai
berbicara tentang usianya. Ia pun sadar, bahwa sebentar lagi
masanya kan berakhir.
Hanya satu pinta yang sering terucap dari bibirnya, "Bila ibu
meninggal, ibu ingin anak-anak ibu yang memandikan. Ibu ingin
dimandikan sambil dipangku kalian".
Tak hanya itu, imam shalat jenazah pun ia meminta dari salah satu
anaknya.
"Agar tak percuma ibu mendidik kalian menjadi anak yang shalih &
shalihat sejak kecil," ujarnya.

Duh ibu, semoga saya bisa menjawab pintamu itu kelak. Bagaimana
mungkin saya tak ingin memenuhi pinta itu? Sejak saya kecil ibu
telah mengajarkan arti cinta sebenarnya.
Ibulah madrasah cinta saya,
Ibulah sekolah yang hanya punya satu mata pelajaran, yaitu "cinta".
Sekolah yang hanya punya satu guru yaitu "pecinta".
Sekolah yang semua murid-muridnya diberi satu nama: "anakku tercinta