Pugoeh/nakita
P enyakit jantung ternyata tak hanya milik para orang tua. Bayi baru lahir pun bisa kena, lo.

Kegembiraan karena lahirnya si buah hati tak berlangsung lama di rumah Ny. Dinda. Pasalnya, dokter menyatakan bahwa anaknya menderita Penyakit Jantung Bawaan (PJB). Ia tak kunjung mengerti, mengapa hal ini bisa terjadi pada anaknya? Menurut dr. Najib Advani, Sp.AK, MMed.,Paed. , 1 diantara 125 bayi yang lahir hidup menderita PJB. "Penyakit ini tidak memandang tingkat sosial ekonomi atau ras. Tidak pandang bulu, risikonya sama." Penyebab PJB paling banyak adalah multifaktoral. Penyebab multifaktoral bisa karena pengaruh dari ibu saat hamil. Misalnya waktu hamil ibu terkena infeksi rubella. "Kalau ini terjadi pada trimester pertama kehamilan, maka kemungkinan bayi yang dikandung akan menderita PJB, disamping akibat lain rubella, seperti kebutaan," ujar dokter konsultan ahli jantung anak dari Bagian Kesehatan Anak FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

Penyebab lain adalah ibu yang suka minum minuman beralkohol saat hamil, ibu yang menderita diabetes mellitus, atau ibu yang mengkonsumsi obat-obat tertentu saat hamil, seperti obat-obat hormon. "Misalnya pil KB tertentu. Si ibu mungkin tidak tahu ia sudah hamil dan terus saja minum obat KB. Nah, hal ini diduga akan menyebabkan anak menderita PJB." Memang, aku Najib, sulit memastikan penyebab pasti PJB. "Kecuali bila diketahui si ibu sebelumnya terkena rubella, atau karena ibu biasa minum minuman beralkohol selama hamil, maka kemungkinan besar penyebabnya adalah hal-hal tersebut." Kendati sulit diketahui penyebabnya, PJB dapat dideteksi sejak janin masih dalam kandungan berusia 18 minggu.

Biasanya pemeriksaan dilakukan dokter jantung anak dan terutama deteksi dilakukan untuk ibu yang cenderung anaknya menderita PJB. Misalnya, jika anak pertama menderita PJB, maka pada kehamilan kedua kemungkinan bayi juga menderita PJB. Atau jika ibunya diketahui terkena rubella waktu hamil. Selain itu, ibu penderita PJB, maka kemungkinan anaknya terkena PJB akan lebih besar dibandingkan anak dari ibu yang tidak menderita PJB. "Kemungkinannya 3 persen atau satu di antara seratus. Ada juga jenis PJB yang kemungkinan diturunkan ke anaknya sekitar 10 persen."

MUDAH LELAH

Jenis PJB, menurut Najib, sangat beragam. Variasinya bisa lebih dari 20, dan masing-masing memberikan gejala yang berbeda. Paling sering ditemukan kasus terdapatnya celah atau lubang pada sekat antara bilik kiri dan kanan atau sekat antara serambi kiri dan serambi kanan jantung. "Jika lubang atau celahnya kecil, kemungkinan akan menutup sendiri," jelas konsultan ahli rubrik Tanya Jawab Kesehatan Anak nakita ini. Untuk itu, terang Najib, anak penderita PJB akan dilihat perkembangannya. Bila membaik, sampai usia 2-3 tahun, mungkin tak perlu operasi. "Tapi bila celah terus membesar dan pertumbuhan fisik anak terganggu, maka mungkin sebelum satu tahun harus dioperasi."

Jenis lain adalah adanya penyempitan pada saluran keluar atau katup saluran keluar dari jantung. Bisa juga letak pembuluh darah yang tidak normal sehingga pembuluh darah ke paru-paru bertukar tempat dengan pembuluh darah ke badan atau disebut transposisi pembuluh nadi besar. "Akibatnya, badan tidak mendapat oksigen karena semua oksigen lari ke paru-paru. Bila ini terjadi tentu semua fungsi organ akan terganggu." Biasanya ini harus dioperasi pada minggu-minggu pertama setelah bayi lahir. Lebih lanjut Najib menerangkan bahwa secara garis besar, PJB dibagi dalam 2 kelompok; PJB biru dan tidak biru. PJB biru biasanya lebih berat. Gejala PJB biru sudah ketahuan ketika bayi baru lahir. "Misalnya bibir atau kukunya berwarna biru. Nah, kita harus pikirkan kemungkinan anak terkena PJB."

Ada juga bayi baru lahir langsung sesak nafas. "Ini harus dioperasi beberapa hari setelah lahir. Kalau tidak, ia bisa tidak tertolong." Gejala lain pada PJB berat, anak mudah lelah. Pada bayi yang masih minum ASI, akan terlihat bahwa ia tidak kuat lama menetek. Sebentar berhenti untuk beristirahat, baru kemudian menetek lagi. Sedangkan pada anak yang lebih besar, ia akan kelihatan tidak kuat bermain lama-lama, mudah lelah, dan dadanya gampang berdebar-debar. Saat berjalan, misalnya, baru berjalan sebentar sudah berjongkok karena kecapekan. Sementara pada PJB ringan kerap muncul tanpa gejala, sehingga tak tampak saat lahir. Umumnya gejala yang muncul adalah anak sering batuk pilek atau panas yang tidak sembuh-sembuh. Yang jelas, apa pun jenisnya, PJB bisa mengganggu tumbuh kembang anak. Pada beberapa kasus ditemukan fisik anak tidak tumbuh dengan baik. "Badannya kecil, ternyata setelah diperiksa ia menderita PJB. Barulah setelah dioperasi, badannya bisa besar dan gemuk." Artinya kalau pertumbuhan badannya kecil sementara pemeriksaan lain tidak menunjukkan adanya kelainan, harus diwaspadai kemungkinan PJB.

METODE PEMERIKSAAN

Nah, Bu-Pak, untuk memastikan anak terkena PJB atau tidak bisa dilakukan dengan pemeriksaan-pemeriksaan; elektrokardiografi dan ekokardiografi. "Pemeriksaan yang paling pasti dan meyakinkan adalah dengan ekokardiografi. Ekokardiografi hampir mirip dengan pemeriksaan USG pada wanita hamil." Jadi, kalau ada lubang atau celah sedikit saja dengan pemeriksaan ini akan kelihatan. Tentu saja pemeriksaan hanya bisa dilakukan dokter ahli jantung. Pemeriksaan lain dengan kateterisasi. "Selain pemeriksaan, kateterisasi juga merupakan bentuk penanganan. Tujuannya untuk menutup lubang jantung dengan kateterisasi."

Lewat pemeriksaan ini akan diketahui kadar oksigen, ada lubang atau tidak, kemana aliran darah, dan sebagainya. "Tapi kateterisasi kurang menguntungkan karena radiasinya tinggi." Menurut Najib, penanganan PJB sangat tergantung pada jenisnya. Untuk PJB ringan, biasanya tidak masalah. "Seringkali bisa baik sendiri, meski tanpa operasi. Tapi kalau berat, risikonya besar," ujar Najib. Kendati bisa pulih tanpa operasi, bukan berarti PJB ringan tak perlu dimonitor. "PJB harus selalu dimonitor dengan ekokardiografi dan dengan pemeriksaan fisik. Memang ada beberapa jenis yang sampai usia tertentu; 2-4 tahun, kemungkinan bisa membaik sendiri." Namun untuk kasus seperti transposisi pembuluh nadi besar tetap harus dioperasi. "Saat operasi juga tergantung jenis PJB-nya. Misalnya, operasi transposisi pembuluh nadi besar harus dilakukan pada minggu-minggu pertama setelah bayi lahir." Tapi ada juga kelainan-kelainan lain yang operasinya bisa dilakukan pada usia yang sudah agak besar. "Jadi, penanganannya memang bisa berbeda-beda tergantung jenis dan derajatnya."

HIDUP SECARA NORMAL

Yang jelas, Bu-Pak, bila putra-putri ibu menderita PJB jangan biarkan sampai berlarut-larut. Diakui Najib, terkadang orang tua sering tidak percaya kalau anaknya menderita PJB. "Mereka kemudian pergi ke dokter lain untuk meyakinkan. Akhirnya ketika kembali kondisinya sudah berat," ujar Najib. Padahal, terang Najib, orang tua harus tahu bahwa penyakit jantung tak hanya menyerang orang tua. Anak pun bisa terkena penyakit jantung, termasuk PJB ini. "Ini yang membuat mereka menolak, enggak percaya atau denial ketika diberitahu anaknya menderita PJB."

Itulah mengapa, deteksi dini penting dilakukan. Misalnya, pembuluh darah yang masih belum menutup pada bayi prematur. "Kalau segera diketahui dan diberi obat, mungkin akan segera menutup. Tetapi kalau didiamkan dan baru ketahuan setelah beberapa minggu, maka tidak bisa diberi obat lagi dan harus dioperasi." Selain itu, jika tidak dideteksi dini, jantung yang bekerja terlalu berat bisa mengalami gagal jantung yang bisa berakibat kematian. Artinya, jantung tidak bisa lagi memompa darah sesuai kebutuhan tubuh. Pada PJB, lanjut Najib, jantung dipaksa bekerja dalam kondisi yang tidak normal. "Akibatnya, anak gampang capek. Kalau lelah dan jantung tidak sanggup lagi, akhirnya gagal jantung."

Namun demikian, terang Najib, orang tua sebaiknya jangan terlalu membiarkan, tapi juga jangan terlalu overprotektif pada anak penderita PJB. Misalnya, anak menderita PJB ringan, tapi orang tua selalu melarang karena khawatir. "Hal ini akan mengganggu tumbuh kembang anak. Anak akan merasa dirinya lain dari yang lain, akibatnya ia akan minder." Tapi juga, orang tua juga jangan selalu membolehkan anak, demi pemanjaan atas kondisinya. "Justru orang tua harus tahu mana yang boleh dan mana yang enggak." Misalnya, untuk penderita PJB berat, tidak disarankan melakukan olahraga bersifat kompetitif. "Karena akan membuat anak lupa daratan. Ia terlalu bersemangat, sehingga energinya akan terkuras habis-habisan." Nah, Bu-Pak janganlah terlalu khawatir berlebihan bila salah satu putra-putri Anda menderita PJB. Yang penting, anjur Najib, kontrol teratur. "Ikuti instruksi dan saran dokter supaya kondisi anak tidak tambah buruk. Sehingga anak bisa hidup seperti anak lain, minimal mendekati."

KONTROL SEUMUR HIDUP



Kendati penyebab PJB sulit dipastikan, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk meminimalisir kemungkinan anak terkena PJB. Misalnya, memberi suntikan anti rubella atau MMR, terutama pada anak perempuan untuk menghindari terkena infeksi rubella. "Sehingga kelak setelah besar dan hamil, ia tidak terkena rubella," ujar dr. Najib Advani, Sp.AK, MMed.,Paed. Yang tak kalah penting justru pencegahan saat kehamilan. Misalnya ibu hamil tidak mengkonsumsi obat-obatan sembarangan, terutama pada kehamilan trimester pertama. Selain itu, juga menjaga kondisi fisik. Usahakan untuk tidak terkena berbagai infeksi.

Ibu hamil juga tidak boleh minum alkohol. "Bila memiliki penyakit tertentu, seperti diabetes, sebaiknya dikontrol dengan baik." Langkah berikutnya, bila dicurigai anak menderita PJB, terang Najib, orang tua harus rajin membawa anaknya kontrol teratur pada dokter jantung anak. "Sering terjadi karena tidak ada keluhan, mereka tidak kontrol. Akhirnya kala datang, kondisinya sudah berat." Apalagi bila sudah diketahui menderita PJB, anak harus tetap dimonitor baik sebelum maupun sesudah operasi. "Karena ada beberapa jenis PJB yang setelah operasi tidak bisa kembali normal 100 persen dan harus kontrol seumur hidup."

OPERASI BERBIAYA MAHAL



Operasi jantung membutuhkan biaya cukup mahal. Rata-rata berkisar antara Rp 10-40 juta. Mahalnya operasi karena peralatan yang dibutuhkan sangat banyak. Selain itu, operasi kerap dilakukan lebih dari sekali. "Pada PJB yang berat, bisa dua tiga kali operasi. Sehingga menjadi problem tersendiri buat anak, ia harus di rumah sakit selama berminggu-minggu," terang dr. Najib Advani, Sp.AK, MMed., Paed. Selain itu, efek kosmetik akibat operasi juga jelek. "Bekas operasi di dada akan tetap tampak. Pada anak, khususnya anak perempuan bisa memberikan efek psikologis yang kurang baik." Selain operasi, ada beberapa cara penanganan tanpa operasi. Misalnya, dengan metode intervensi.

"Metode ini dilakukan dengan memasukkan selang ke pembuluh darah di lipatan paha. Misalnya jika terdapat celah." Pada selang tersebut terdapat alat untuk menutup lubang atau celah pada jantung. "Metode ini tidak meninggalkan cacat bekas operasi, tapi tentu soal biaya jauh lebih mahal." Penanganan lain dengan memberikan obat. Tapi ini hanya pada kasus duktus arteriosus paten (pembuluh darah yang seharusnya menutup, tapi belum menutup) pada bayi prematur. Normalnya pada bayi baru lahir, pembuluh darahnya menutup. "Nah, pemberian obat pada hari-hari pertama kelahirannya bertujuan menutup lubang atau celah tadi. Ini pun kemungkinan menutupnya hanya 25 persen."

Risiko operasi sangat tergantung jenis PJB. Ada beberapa jenis yang angka keberhasilannya 90 persen, ada juga yang 50 persen. "Selain tergantung derajat, juga timing operasinya. Kalau terlambat, ya, angka keberhasilannya menjadi rendah." Yang juga harus diketahui, pada penderita PJB baik yang biru maupun yang tidak biru, jika akan melakukan tindakan operasi kecil, entah itu sunat, cabut gigi, atau tindik telinga, harus diberikan antibiotik terlebih dulu sebelum dan sesudah operasi. "Hal ini untuk mencegah supaya tidak terjadi infeksi pada katup jantung. Jadi, sebaiknya berkonsultasi dulu dengan dokter jantung anak sebelum melakukan operasi kecil."

Hasto Prianggoro