Ilustrasi

Jangankan menjalani opname, melihat bangunan rumah sakit saja sudah bisa menimbulkan stres tersendiri. Pada anak, stres akibat bolak-balik ke rumah sakit dan pengalaman dirawat inap bisa membekaskan trauma. Belum lagi kondisi penanganannya di rumah sakit (RS), apakah memberikan pengalaman menyenangkan atau tidak. "Ini semua berpengaruh pada bagaimana kelak bila si anak sudah sembuh atau keluar dari rumah sakit," kata Dr. Dwijo Saputro, SpKJ.

Tentunya, apakah setelah sakit si anak akan trauma pada sesuatu yang berbau RS atau obat, belum bisa dipastikan. Efeknya memang berbeda-beda pada setiap anak, tergantung usia dan kematangan pribadinya, selain juga pendekatan yang dilakukan tim medis saat si anak ditangani sakitnya.

ORANG ASING SUMBER STRES SI BALITA

Buat anak balita, masuk ke lingkungan yang sama sekali baru, bisa menimbulkan stres. Penyebabnya, selama ini anak balita lebih banyak di rumah bersama ayah dan ibu sehingga lingkungan sosialnya terbatas. "Dia belum punya pengalaman yang luas untuk bersosialisasi dengan orang-orang di luar rumah, sehingga kalau tiba-tiba masuk rumah sakit, itu menjadi stresor tersendiri," kata Dwijo.

Apalagi kalau dalam pemeriksaan itu, tambahnya, ada tindakan-tindakan terhadap fisik anak. Misalnya, orang asing yang notabene adalah dokter menyentuh tubuhnya, bahkan sampai menyuntiknya. "Wah, ini bisa menjadi persepsi yang menakutkan, karena dia belum punya kemampuan berpikir sampai ke situ."

Belum lagi kalau anak harus dirawat inap yang membuatnya harus berpisah dari ayah dan ibu. Hal-hal di luar kebiasaan ini, termasuk kehadiran orang asing, mudah menimbulkan stres pada si balita.

Sementara stres yang timbul setelah sakit umumnya terjadi bila anak harus kembali lagi ke RS dan berhadapan dengan orang asing. "Orang-orang yang belum dia kenal merupakan 'ancaman'. Dia takut sakit lagi, karena kalau dia sakit lagi, berarti akan bertemu dengan orang-orang lain di luar ayah dan ibunya. Sepertinya, buat anak yang paling aman adalah berada di tengah keluarganya."

Setelah rawat inap, bila selanjutnya anak harus berobat atau diterapi untuk jangka waktu lama, menurut Dwijo, penerimaan setiap anak bisa berbeda-beda. "Pada usia di bawah enam tahun, cara beradaptasi anak atau coping mechanism anak terhadap penyakitnya sangat tergantung pada pengalaman interaksi dia sebelumnya dengan lingkungan."

CARA MENGHINDARI TRAUMA:

Bermain alat-alat kedokteran selagi kecil sebetulnya membantu anak dalam memahami realita sakit bila kelak dia harus berhadapan dengan orang-orang yang menangani penyakitnya. "Intinya, untuk menghindari anak mengalami trauma pascasakit, pada waktu penanganan penyakitnya itu sendiri, anak harus mendapatkan pengalaman seperti bermain. Selanjutnya kalau dia diajak ke dokter atau ke rumah sakit lagi, dia bisa lebih menerima," ungkap Dwijo.

Lalu kalau misalnya setiap hari si anak harus disuntik. Ketika dia menangis dan berkata "sakit", maka respons orang tua harus positif. Artinya, orang tua harus memahami dan menenangkan anak, bukan malah memarahinya agar suntikan bisa tetap diberikan.

Selanjutnya, yang mesti dijelaskan pada anak usia di bawah 6 tahun bukanlah alasan kenapa dia harus disuntik tiap hari dan penjelasan tentang penyakitnya, tapi memberikan lingkungan yang seaman mungkin baginya. "Buat mereka, yang penting adalah siapa yang mengobati dan apakah ayah dan ibu ada di dekatku ketika aku diobati. Mungkin selagi disuntik ia merasa kesakitan lalu menangis. Namun kalau ayah dan ibu ada di dekatnya dan menunjukkan reaksi yang tenang, anak akan cepat diam kembali. Apalagi kalau dokter yang menanganinya sudah dikenal dengan baik."

Itulah mengapa, dalam menangani penyakit anak yang kronis dengan terapi yang terus-menerus, idealnya dokter dan tim kesehatan yang bertugas harus bisa membuat diri mereka sebagai bagian dari keluarga.

SI 6-12 TAHUN GAMPANG MINDER

Ditilik dari perkembangan psikososialnya, anak usia sekolah (6-12 tahun) sedang berada dalam fase industri dimana ia sangat menjunjung tinggi keberhasilan. Ia berpikir bahwa dengan keberhasilan, dirinya akan mendapat pujian dan penghargaan.

Kalau kemudian anak sering absen karena harus bolak-balik ke dokter menjalani terapi kesehatan atau bahkan dirawat di RS, hal ini bisa menimbulkan stres tersendiri karena ia takut menghadapi kegagalan. "Dia takut enggak bisa catching up atau mengejar ketinggalannya dari teman-teman. Apalagi kalau nilai-nilai pelajarannya memang ternyata turun. Anak merasa minder karena dia tak bisa menyamai teman-temannya dalam belajar," ungkap Dwijo.

Kondisi stres bisa lebih buruk lagi pada anak yang mematok nilai tinggi untuk standar keberhasilan. Bisa jadi, si anak tumbuh di lingkungan yang menekankan pentingnya jadi nomor satu untuk menandai sukses. "Anak yang mematok dirinya selalu menjadi nomor satu akan merasa diterima bila dia menunjukkan kepintarannya. Nah, anak seperti ini, dalam kondisi tidak sakit saja bisa stres kalau dia enggak jadi nomor satu, apalagi jika sampai dirawat karena sakit."

Absen dari kegiatan sekolah tentu membuatnya waswas karena menganggap semua teman adalah kompetitor. Dia merasa akan terancam kepintarannya dan merasa tak diterima oleh lingkungannya lagi karena dia menjadi nomor dua atau nomor tiga. Selanjutnya, terhadap ayah dan ibunya, anak menyimpan rasa bersalah dan rendah diri.

CARA MENGHINDARI TRAUMA

Orang tua harus menerima, bahwa anak yang baru sembuh dari sakit atau masih dalam pengobatan, maka kondisinya berbeda. Maklumi saja jika prestasi belajarnya turun. Yang perlu dibangun adalah unsur-unsur kondusif bagi anak.

Hal ini bisa dilakukan dengan cara lebih banyak mengajak anak berdialog agar kesehatan mentalnya setelah sakit tetap baik, bahkan meningkat. Dalam dialog tersebut, orang tua bisa mengajarkan bahwa kesuksesan tidak melulu dinilai dari nilai-nilai pelajaran dan ranking di sekolah. "Orang tua bisa menekankan bahwa kesehatan juga penting. Makanya anak diajak melihat bahwa kesembuhan itu saja suatu rahmat. Toh, prestasi belajar bisa dikejar lagi bila anak memang benar-benar sudah sembuh dari sakitnya."

Anak-anak yang harus mengikuti terapi lanjutan pascarawat inap umumnya sudah mengetahui prosedur medis yang sering dilakukan padanya. Misalnya, harus disuntik tiap hari dan bagaimana aturan makan obat setelah pulang dari rumah sakit. Hal yang sudah diketahuinya tak akan sampai menimbulkan trauma. Namun tentu saja, prosedur medis ini harus dijelaskan dulu pada anak. Akan lebih baik, bila yang menjelaskan adalah orang-orang yang terkait dengan dirinya. Misal, dokter dan orang tuanya.

Jika anak telanjur mengalami trauma, untuk mengatasinya diperlukan psikoterapi dan terapi keluarga agar pola asuh dan penerimaan orang tua terhadap anak bisa diperbaiki supaya lebih realistis.
ANAK SAKIT PENGARUHI INTERAKSI KELUARGA

Umumnya, orang tua cenderung memberikan perhatian lebih kepada anak yang sakit dengan alasan anak ini membutuhkan penanganan lebih teliti. "Memang benar, sih. Namun tanpa disadari, perlakuan istimewa ini bisa menimbulkan dampak negatif pada perkembangan kepribadiannya," kata Dwijo. Bisa-bisa ia sulit berkembang menjadi pribadi mandiri, emosinya lebih labil, toleransinya terhadap frustrasi rendah, selalu menuntut, dan kurang "tahan banting".

Yang lebih parah bila si sakit punya saudara. "Biasanya, orang tua jadi sibuk dengan si sakit. Akibatnya, saudara-saudaranya yang lain jadi tersisih. Nah, akhirnya terjadi pergesekan di dalam interaksi si anak dengan saudara-saudaranya. Timbul rasa cemburu dan iri. Kalau orang tuanya kurang dewasa, anak-anak yang sehat ini dipaksa mengalah terus-menerus. Akibatnya bisa timbul frustrasi dan hubungannya jadi jelek dengan orang tua.

Konflik ini umumnya merembet ke hubungan ayah dan ibu sebagai suami istri, karena perubahan interaksi orang tua dan anak bisa menggangu interaksi pasutri. Akhirnya, semua interaksi di dalam keluarga berubah. Padahal, bagaimana bentuk interaksi di dalam rumah, akan memengaruhi persepsi mereka terhadap lingkungan di luar rumah. "Makanya, dalam menghadapi anak yang sakit-sakitan, orang tua benar-benar harus bijak dan matang dalam menyikapinya," tandas Dwijo.