unat laki-laki sudah sering kita dengar. Bagaimana dengan sunat perempuan? Apakah Anda tahu?

Ada beberapa istilah yang dipakai untuk menyebut sunat perempuan. Antara lain, pemotongan alat kelamin wanita (female genitale cutting), mutilasi alat kelamin wanita (female genitale mutilation), dan sunat perempuan (female circumcision). Namun, untuk lebih menekankan dampak kekerasan pada praktik ini, yang lebih banyak dipakai adalah female genital mutilation.

World Health Organization (WHO) membagi definisi sunat perempuan menjadi empat. Tipe I, memotong seluruh bagian klitoris (bagian mirip penis). Tipe II, memotong sebagian klitoris. Tipe III, menjahit atau menyempitkan mulut vagina (infibulasi). Tipe IV, menindik, menggores jaringan sekitar lubang vagina, atau memasukkan sesuatu ke dalam vagina agar terjadi perdarahan.

Sunat perempuan banyak dilakukan di negara-negara Afrika Utara, Timur Tengah, Asia Tenggara, dan beberapa suku pedalaman di Amerika Selatan dan Australia. Lembaga Amnesty International memperkirakan, setidaknya 2 juta wanita dan anak perempuan disunat setiap tahunnya.

Salah satu alasan dilakukannya sunat adalah untuk menekan libido saat seorang anak perempuan tumbuh dewasa. Wanita yang disunat, dianggap pasti akan dapat menekan nafsu seksual, sehingga mereka tetap dapat menjaga kehormatan dirinya sampai menikah.

Pemikiran itu berbanding terbalik dengan hasil studi yang dilakukan Dokter Sharifa Sibiani dari King Abdulaziz University Hospital, Jeddah. Dokter Sharifa melakukan studi terhadap 260 wanita yang separuhnya sudah disunat. Ia mempelajari perilaku seksual dan pengalaman mereka saat berhubungan seks. Hasilnya, ternyata tidak ada perbedaan gairah seksual atau libido di antara wanita yang sudah dan tidak disunat.

Lokakarya Praktik Sunat Perempuan pada bulan Juni 2005 yang melibatkan organisasi profesi, LSM, komnas, dan seluruh aspek program dan sektor sepakat bahwa sunat perempuan tidak berguna bagi kesehatan, bahkan merugikan dan menyakitkan.

Akan tetapi, praktik sunat perempuan di Indonesia masih tetap dilakukan karena berbagai alasan. Mulai dari keagamaan, kebersihan (bagian luar kelamin perempuan dianggap kotor), sampai menghindari penyakit.

Sebagai bentuk dukungan terhadap penghapusan diskriminasi dan kekerasan berdasarkan gender, pemerintah Indonesia tahun 2006 mengeluarkan surat edaran berisi larangan bagi tenaga medis untuk melakukan segala bentuk sunat perempuan (mengiris ataupun memotong). Namun anehnya, pada 2010, keluar Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) RI No. 1636/MENKES/PER/XI/2010. Isinya adalah panduan bagi tenaga medis untuk melakukan sunat perempuan. Pertanyaan yang muncul, kenapa sunat perempuan yang dilarang, kok, sekarang malah diberi panduannya?