Sebenarnya, sudah seharusnya bayi yang baru lahir berada di dekat ibunya dalam ruangan yang sama (rooming-in). Ini akan memudahkan si ibu memberikan ASI. Tapi manfaat rooming-in tak hanya itu.



Terus terang saja, ketika buah hatiku dibawa ke ruang perawatan bersama, aku agak khawatir. Sudah tentu aku masih kangen. Bayiku baru hitungan jam tapi sudah harus dipisah, dikumpulkan dengan bayi-bayi baru lahir lain di sebuah ruang khusus. Aku sudah menengok ruangan itu kemarin dan menyaksikan jejeran manusia-manusia imut. Sosialisasi mereka hanya melalui suara. Ketika satu menangis, bayi lain yang merasa terganggu ikut menangis. Atau entah isyarat apa tangisan itu, hanya mereka yang tahu. Sementara banyak juga yang cuek tidur pulas di tengah suara temannya menangis. Mungkin karena kecapaian tadi susah payah keluar dari rahim ibunya.

Sekarang buah hatiku di sana. Aku jadi merasa aneh, perutku kempes tapi bayiku tak ada di sampingku. Apakah ia sedang menangis atau tidur? Suara tangis bayi samar-samar terdengar. Belum tentu itu suara buah hatiku. Aku belum mengenalnya. Lagi pula suara bayi sama saja. Yang membuatku khawatir, bagaimana jika nanti tertukar? Ini kekhawatiran wajar karena sudah banyak kejadian.

Ketika seorang perawat masuk memberikan sejumlah obat, aku mencoba menjelaskan kekhawatiranku dengan hati-hati. Aku bilang, aku ingin anakku ada di sampingku. Tapi ia menjelaskan alasannya kenapa harus dipisah dulu. “Nanti ibu bisa rooming-in. Tapi untuk sementara ibu istirahat dulu,” katanya.

Yang membuatku terhenyak, banyak ibu-ibu yang justru menghendaki bayinya dipisah begitu saja. Ini menyeramkan. Katanya karena air susunya belum keluar. Sementara aku justru ingin menyusui sendiri sejak awal. Beruntung tadi aku bisa Early Latch-On (ELO) alias Inisiasi Menyusu Dini (IMD). Buah hatiku ternyata sudah tahu cara menyusu, padahal baru hitungan menit di dunia.

Soal banyaknya ibu-ibu yang “sok modern” itu, aku jadi ingat cerita Dr Utami Roesli SpA MBA, pendiri Lembaga Peningkatan Pengguna ASI di rumah sakit St Carolus, Jakarta. Ternyata ibu-ibu yang hanya sedikit memberikan ASI sudah terjadi sejak lama. Ibu Utami sampai harus membentuk lembaga itu agar bisa menyadarkan banyak orang (terutama ibu-ibu) akan pentingnya pemberian ASI ini. Lalu Bu Utami memperkenalkan Rooming-in System di rumah sakit tempatnya bekerja. Rooming in System ini berarti menggabungkan bayi dengan ibunya pada satu kamar dengan maksud untuk meningkatkan pemberian ASI. Dengan bayi ada di samping, si ibu akan mudah menjangkau buah hatinya kapan saja ia mau. Si bayi juga akan cepat mendapatkan jatah ASI-nya ketika ia mulai menangis.

Berkat kampanye lembaga itu, karyawan St Carolus yang melakukan pemberian ASI eksklusif meningkat tajam pada periode 1993-1997 seperti yang ditulis harian Republika. Peningkatannya dari nol persen menjadi 80 persen. Yang mengherankan, ternyata sejak dulu susah juga, ya, menyadarkan ibu-ibu akan pentingnya ASI. Aku kira di Indonesia, melunturnya kesadaran akan pentingnya ASI eksklusif ini hanya pada orang-orang kota saja dan baru-baru ini.

Yang menarik, pengenalan rooming-in di Amerika Serikat pun tak semata karena alasan kesadaran akan pentingnya ASI. Dari sejarahnya rooming-in di sana baru diperkenalkan pada awal dekade 1940-an. Alasannya, saat itu rumah sakit memerlukan efisiensi kerja. Pertama karena di masa perang terjadi peningkatan perlakuan untuk meningkatkan kesehatan seperti pemberian antibiotik, cepatnya rawat jalan yang harus ditempuh, di mana kondisi ini lebih memerlukan peran ibu pascapersalinan untuk merawat anaknya. Kedua, rooming-in juga memecahkan krisis di rumah sakit karena kurangnya tenaga perawat. Alih-alih menggunakan tenaga perawat, lebih baik ibunya sendiri merawat anaknya sejak dini. Ketiga, karena tumbuhnya kehati-hatian pada perkembangan teknologi. Dan didukung oleh desakan para dokter dan perawat akan perlunya kedekatan ibu pada bayinya sejak lahir untuk mempererat emosi mereka dan ASI, maka sejak itu rooming-in mulai banyak diperkenalkan rumah sakit-rumah sakit di sana.

Tetapi perjalanannya tak mulus. Katanya, banyak profesional rumah sakit kurang setuju dengan rooming-in ini. Entah karena apa. Mungkin buat mereka jadi ribet karena perlakuannya jadi beragam. Lain jika bayinya disatukan di sebuah ruang khusus. Kerjaannya jadi simpel. Teratur lagi.

Tetapi dari faktor manfaat, rooming-in tak hanya membuat buah hati kita jadi selalu dekat dengan kita. Kita juga bisa melekatkan buah hati kita di dada kita dengan bersentuhan kulit (skin contact). Cara ini terbukti lebih baik untuk meningkatkan hubungan antara ibu dan anak. Cara ini sulit dilakukan jika buah hati kita berada di ruang terpisah. Jadi, rooming-in sebenarnya sangat sejalan dengan program Say yes to ASI.