B ila ibu tak ingin si kecil lebih lengket dengan orang lain semisal pengasuhnya, jadilah perawat utama yang dapat diandalkan.

Bayi adalah makhluk yang masih belum berdaya sehingga ia sangat membutuhkan bantuan orang dewasa. Bukan hanya untuk membantunya beradaptasi dengan lingkungan kehidupan di luar kandungan agar ia bisa terus hidup, tapi juga mengembangkan segala potensi yang ada dalam dirinya agar kelak ia mampu menjadi makhluk yang mandiri. Nah, ibu biasanya menjadi orang pertama dan utama bagi bayi. Bukankah ibu yang mengandung dan melahirkannya?

Sebagaimana telah dijelaskan pada halaman muka, peran ibu di usia bayi lebih sebagai perawat. Psikolog Evi Sukmaningrum yang menyebut peran ibu ini dengan istilah caregiver malah menegaskan, "ibu adalah caregiver utama atau perawat utama bagi bayi." Pasalnya, bayi masih sangat terbatas kemampuannya sehingga ia sepenuhnya menggantungkan diri pada figur caregiver. "Jadi, peran ibu sangat penting pada tahap ini," tandas dosen di Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta ini.

MEMENUHI KEBUTUHAN FISIK DAN PSIKIS BAYI

Sebagai caregiver, lanjut Evi, ibu dituntut untuk mengetahui dan memenuhi kebutuhan fisik maupun psikis bayi agar tak kekurangan dan tak berlebihan dalam pemberiannya. Kebutuhan fisik bayi paling umum yang bisa dipenuhi oleh ibu ialah breastfedding (memberikan ASI).

Bila karena suatu sebab ibu tak dapat memberikan ASI maka bisa digantikan dengan susu botol. Asalkan ibu mengetahui teknik atau cara agar si bayi tetap dekat dengannya. Teknik yang banyak disarankan ialah lekatkan bayi pada dada ibu ketika sedang memberi susu botol. Tentunya, pemenuhan kebutuhan fisik sangat berkaitan dengan kebutuhan psikis. Bila bayi menangis karena lapar, misalnya, ibu harus cepat merespon untuk segera memberinya ASI. Dengan begitu, selain kebutuhan fisiknya terpenuhi, psikisnya pun terpenuhi yaitu ia merasa disayang dan dicintai. Jadi, Bu, jangan pernah menunda bila bayi menangis meminta sesuatu.

Nah, agar ibu bisa memenuhi kedua kebutuhan tersebut, ibu dituntut untuk selalu mengasah kepekaannya. Antara lain, mempelajari kode-kode tangisan bayi. Apalagi, bayi, kan, hanya bisa menangis untuk memberi tahu tentang apa yang ia butuhkan; apakah ia merasa lapar, bosan, popoknya basah, sakit, dan sebagainya. Evi yakin, kepekaan ibu akan makin terasah bila ibu secara intens dekat dengan anak. "Jika ibu semakin peka terhadap kebutuhan bayi berarti ibu juga semakin optimal menjalankan perannya dan bayi pun semakin merasa disayangi serta dicintai."

KEPERCAYAAN DASAR

Selanjutnya, bila bayi sudah merasa disayangi dan dicintai oleh caregiver utama berarti dalam diri bayi akan timbul basic trust (kepercayaan dasar). "Jika bayi memiliki basic trust yang tinggi pada ibu, setelah besar ia akan merasa aman walaupun ditinggal sendiri selagi ibunya bekerja karena ia percaya ibunya akan kembali lagi," tutur Evi.

Basic trust, tuturnya lebih lanjut, merupakan pondasi utama untuk terbentuknya rasa aman di lingkungan. "Bayi akan tumbuh dan berkembang menjadi anak yang percaya diri dan penuh inisiatif." Jika basic trust pada ibu tak terbentuk, ada 2 kemungkinan yang akan terjadi. Kemungkinan pertama, bisa jadi basic trust akan terbentuk pada orang lain semisal nenek atau pengasuh.

Yang kedua, setelah lepas dari usia bayi, anak malah jadi tak mau lepas dari ibu. Bila ditinggal ibu, ia akan menangis karena ia tak memiliki kepercayaan yang kuat pada ibu sebagai figur pemberi kasih sayang. "Anak tak merasa aman karena berpikir bahwa ibu sewaktu-waktu akan meninggalkannya." Tak terbentuknya basic trust bisa karena si ibu sendiri memang tak memberikannya.

"Ketika bayi, mungkin ia banyak ditinggal oleh ibunya. Atau, ibu ada namun tak terlalu mengambil alih tugas utama untuk mengasuh anak," terang Evi. Bisa juga disebabkan pengasuh yang berganti-ganti sehingga dalam pikiran anak akan muncul pertanyaan, "Kok, aku selalu ditinggalkan, sih?"

KELEKATAN EMOSIONAL

Dalam kaitan pembentukan basic trust adalah kelekatan emosional antara ibu dan bayi. "Tanpa kelekatan emosional, basic trust sulit untuk dibentuk," ujar Evi. Sebenarnya, terang Evi, secara langsung sejak lahir bayi sudah memiliki kedekatan natural dengan ibu. Selanjutnya tinggal bagaimana ibu memproses kedekatan natural dengan anaknya sampai pada pola attachment (kelekatan).

"Proses kelekatan mulai efektif terjalin kira-kira ketika bayi berusia 6 hingga 18 bulan karena mulai usia 6 bulan, bayi mulai tahu siapa saja orang-orang yang selalu dekat dengannya. Proses ini akan mengembangkan kedekatan emosional antara bayi dengan suatu figur." Biasanya figur ibulah yang memegang peranan besar karena ibu yang banyak merawat bayi. Bukankah begitu lahir bayi akan ditangani ibunya?

Nah, selanjutnya, dengan interaksi antara ibu dan anak setiap hari akan semakin mengembangkan proses kelekatan. "Tapi jika bayi sering ditinggalkan atau ibu selalu tak ada setiap kali bayi membutuhkan, lama-lama kualitas kelekatannya akan menurun sehingga tak terbentuk sebagaimana mestinya," lanjut Evi. Kalau sudah begitu, jangan cemburu, ya, Bu, jika bayi mencari kelekatan dengan orang lain. Apalagi, kelekatan ini sebenarnya tak hanya bisa terjadi antara bayi dengan figur ibu tapi juga figur lain, asalkan sang figur sebagai caregiver utama bagi bayi.

Jadi, bila tak ada posisi ibu, sebenarnya tak masalah bagi bayi karena ia dapat memiliki kelekatan dengan caregiver lain seperti nenek atau pengasuh. "Masalahnya justru bagi si ibu karena ia akan tak punya kesempatan untuk dekat atau lekat dengan anaknya." Karena itu, Bu, sebaiknya attachment atau kelekatan terbentuk melalui figur Anda. Terlebih lagi, bukankah sebenarnya Tuhan sudah memberikannya sejak dari kandungan? Lagi pula, Bu, enggak ada ruginya, kok, kalau bisa dekat dengan bayi. Justru sangat menguntungkan, baik bagi Ibu maupun si kecil. Ia jadi memiliki kepercayaan kepada Ibu sehingga ia pun merasa aman. Pada perkembangan selanjutnya, ia jadi mudah beradaptasi bila menerima orang baru semisal pengasuh baru, percaya diri, dan penuh inisitiaf. Ia pun juga menyadari bahwa hanya Anda, ibunyalah yang merupakan caregiver utama, caregiver asli.

KUANTITAS DAN KUALITAS PERTEMUAN

Nah, agar para ibu bisa menjalani perannya sebagai caregiver utama dengan sebagaimana mestinya, tentulah harus diperhatikan kuantitas dan kualitas pertemuan ibu dengan bayi. Pada tahapan usia ini, terang Evi, kuantitas dan kualitas pertemuan dengan ibu sama penting dan dibutuhkan bayi. "Memang, kualitas lebih penting ketimbang kuantitas," akunya seraya melanjutkan.

"Sekalipun kuantitasnya sering tapi bila ibu cara memegangnya kasar, menyusuinya juga sembarangan, enggak lembut, maka secara kualitas akan buruk. Kuantitas menjadi tak berarti lagi." Tapi jangan lupa, lo, bayi masih sangat tergantung dan basic trust-nya juga sedang dalam proses pembentukan. Lain halnya dengan anak usia di atas setahun, kemandiriannya sudah mulai muncul dan basic trust-nya pun sudah mulai terbentuk.

Dengan demikian, ibu tak perlu selalu hadir di hadapan anak. Itulah mengapa, Evi menegaskan, "kualitas lebih penting daripada kuantitas hanya berlaku bagi anak yang lebih besar, usia setahun ke atas." Persoalannya, bagaimana bila ibu bekerja? Tentunya, kuantitas pertemuan ibu dengan bayi jadi berkurang. Menurut Evi, hal tersebut masih bisa disiasati, kok. "Sempatkan diri mampir ke rumah setiap ada waktu. Misalnya, waktu makan siang, ibu pulang ke rumah untuk menyusui bayi." Bila tak memungkinkan ibu mampir ke rumah lantaran jarak kantor ke rumah cukup jauh, "gunakanlan waktu pulang kantor untuk 'memegang' bayi. Memang capek, sih, tapi bila ibu tak mau kehilangan kedekatan dengan bayinya, ya, harus begitu.

Bukan berarti pengorbanan, ya, tapi harus dilakukan dengan senang hati." Nah, Bu, sudah lebih paham, kan? Jadi, semuanya terpulang kepada ibu sendiri, apakah ibu ingin menyerahkan peran sebagai caregiver utama kepada orang lain semisal pengasuh yang berarti si kecil akan lebih lengket dengan pengasuhnya, ataukah ibu akan memainkan sendiri peran tersebut sehingga si kecil tahu bahwa hanya ibulah satu-satunya caregiver utama baginya.

KENALI BAYI ANDA

Salah satu tugas ibu sebagai caregiver utama ialahnya mengembangkan psikomotor bayi yang berkaitan dengan perkembangan intelektualnya. Menurut Jean Piaget, psikolog asal Swiss yang selama bertahun-tahun memusatkan penelitiannya pada perkembangan intelektual dari lahir sampai dewasa, tahap pertama dari perkembangan intelektual ialah sensorimotor.

Untuk itu, sejak sedini mungkin ibu harus mengetahui apakah bayinya normal atau tidak perkembangan sensoris/pancaindranya. "Apakah ia ternyata tak bisa dengar atau tak bisa lihat, ibu harus tahu," kata Evi Sukmaningrum. Ibu pun harus mengenali reflek bayi untuk menunjang perkembangan motoriknya, apakah refleknya cepat atau lambat. "Ketika ibu tahu refleknya lambat, misalnya, atau motoriknya kurang kuat, segera cari tahu apa yang salah. Dengan demikian ibu bisa secepatnya mengantisipasi bila ada suatu hal berbahaya," lanjutnya.

Pada umumnya, terang Evi, perkembangan psikomotor tergantung dari dua hal, yaitu kematangan fisiologis dan stimulasi. Kematangan fisiologis merupakan bawaan bayi, jadi biologis sifatnya. "Nah, tugas ibu adalah menstimulasi agar perkembangan psikomotor bayi tak terhambat." Misalnya, bayi sudah matang untuk belajar merangkak tapi bila ibu tak pernah merangsangnya, ia jadi terlambat merangkaknya atau malah enggak pernah merangkak.

Tentunya, stimulasi diberikan jika bayi sudah cukup kuat atau matang menjalani proses tersebut. Jangan karena bayi tetangga yang seusia sudah bisa berjalan, lantas ibu memaksa bayinya belajar berjalan padahal ia belum siap. Jangan lupa, kematangan setiap anak berbeda-beda. Ibu harus tahu, apakah bayinya termasuk lambat atau cepat. Jadi, Bu, bila si kecil baru bisa merangkak, misalnya, hargailah, meskipun bayi lain sudah bisa dititah. Yang perlu ibu lakukan adalah terus memberinya stimulasi.

Faras Handayani