ADA sepenggal syair lagu yang cocok melukiskan peran seorang ayah di mata anaknya. “ I love you, Daddy…you are my hero…” potongan syair lagu tersebut menggambarkan betapa ayah memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan anak. Sehebat-hebatnya ibu mengurus anak, tetaplah kurang tanpa dukungan dan keterlibatan ayah

Ilustrasi itu diungkapkan praktisi pendidikan anak, Ernawati, S.Kom. Menurutnya, anak-anak melihat sosok ayah bukan hanya sebagai orangtua, tetapi lebih sebagai teman bermain dan berpetualang yang menyenangkan.

Ketika lapar atau lelah mereka akan mencari ibu, tetapi saat mereka ingin bermain, mereka lebih suka bermain bersama ayahnya. ”Karena biasanya bermain bersama ayah lebih seru,” lukis Erna.

Ayah mau melakukan hal-hal yang tidak dapat atau yang tidak suka dilakukan oleh ibu bersama anak. Contohnya kegiatan seperti outbond, memancing, main game computer, dan kegiatan-kegiatan lain yang lebih bersifat fisik dan berkeringat.

Ayah juga menjadi tempat curhat anak yang menyenangkan, terutama untuk hal-hal yang menurut anak bersifat “rahasia”, karena ayah lebih sering mengatakan “tidak apa-apa” untuk hal-hal yang menurut ibu “tidak boleh”.

”Saya teringat salah seorang pelanggan saya yang rajin mengantarkan istrinya ke tempat saya, karena mereka sering meminta pendapat saya untuk hal-hal yang mereka tidak sepakat dalam mengasuh bayi mereka yang berusia 10 bulan.

Salah satu hal yang mereka perdebatkan adalah cara makan si bayi, ketika suatu saat si kecil tidak mau makan, ayah mengusulkan cara makan yang baru untuk memancing minat si kecil yaitu membiarkan si kecil makan sendiri dengan tangan, tetapi ibu tidak setuju dan berpendapat bahwa si kecil harus makan dengan cara disuapin karena makanan jadi berhamburan ke mana-mana, bahkan rambut dan muka si kecil pun penuh makanan,” paparnya.

Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap sosok seorang ibu, ia berpendapat cara ayah mendidik relatif pas, karena tujuannya merangsang keinginan anak makan telah tercapai dan jumlah makanan yang masuk ke perut anak lebih banyak daripada yang terbuang ke lantai.

Dari hal tersebut dapat dilihat, lanjutnya, adakalanya logika dan campur tangan ayah sangat efektif membantu ibu mengatasi masalah pada anak-anak.

Hal mengagumkan dalam peristiwa semacam ini jelas menunjukkan betapa ayah mau terlibat langsung dalam pengasuhan anak. Tak sedikit ayah yang justru menikmati keterlibatannya saat mengasuh anak.

Namun, menurut Erna, di balik itu ada masalah. Pekerjaan ayah yang sering menyita waktu membuat kesempatan bersama anak menjadi kurang. Juga masih adanya anggapan, ayah bertugas mencari nafkah.

Tugas mendidik dan mengurus anak adalah tugas ibu. ”Anggapan begini menyebabkan peran ayah jadi kurang menonjol dalam kegiatan sehari-hari anak,” katanya.

Jadi Idola
Sebenarnya peranan ayah dalam mengembangkan kreativitas anak sangat penting. Ayah bisa menjadi motivator yang handal buat anak karena tidak jarang anak melihat sosok ayahnya sebagai panutan bahkan idola mereka. Apa saja yang dilakukan ayah akan ditiru si anak.
”Saya pernah membaca buku yang menyebutkan bahwa anak-anak yang sejak kecil selalu makan malam bersama ayahnya ternyata tumbuh menjadi anak-anak yang lebih bahagia dan lebih percaya diri dibandingkan anak-anak yang hanya melewati makan malam berdua ibunya. Saat makan malam bisa menjadi waktu yang sangat berharga buat seluruh keluarga untuk saling memperhatikan satu sama lain,” ujarnya.
Bukan berarti peranan ibu tidak lagi penting. Justru peran ibu tidak perlu lagi dipertanyakan karena sejak dalam kandungan anak sudah terlibat dengan ibunya. Hanya saja anak perlu keseimbangan perhatian dari kedua orangtuanya dan jauh lebih sulit membuat ayah terlibat dalam keseharian anak-anak ketimbang sang ibu.
”Salah seorang kenalan saya, beberapa waktu yang lalu mengatakan, sebagai seorang ayah yang selalu sibuk dengan pekerjaannya. Ia merasa menyesal karena kurang memiliki waktu untuk memperhatikan putra pertamanya, pada saat dirinya sadar si anak sudah berusia 4 tahun. Sepertinya ada hal-hal yang terlewatkan dan hilang dalam peranannya sebagai seorang ayah. Oleh sebab itu ia merasa harus terlibat langsung dalam pertumbuhan putra keduanya yang baru berusia 8 bulan,” kisah Erna.
Kenalannya tadi, katanya, melihat putra keduanya tumbuh lebih aktif dan lebih percaya diri dibandingkan kakaknya yang lebih pasif dan takut mencoba. Ia merasa, itu kesalahannya karena kurang mendampingi dan memotivasi putra pertamanya sejak kecil. Sebenarnya yang terpenting bagi kebersamaan ayah dan anak atau bahkan seluruh keluarga adalah kualitas waktu dan bukan kuantitas waktunya saja.
Dalam sebuah kesempatan, seorang temannya pun pernah menceritakan seputar pentingnya memanfaatkan waktu lima menit untuk bermain catur bersama putranya sebelum berangkat ke airport, dan itu membuat putranya merasa begitu dihargai. ”Intinya, lima menit bersama orangtua yang memberikan perhatian penuh kepada anak jauh lebih efektif daripada seharian bersama orang tua tapi tidak mendapat perhatian,” jelasnya.
Erna mengutip isi buku “Mendidik Anak Sesuai Zaman & Kemampuannya”,yang mengupas pengaruh ayah dalam pembentukan karakter anak. Di situ, disebutkan, tugas seorang ayah adalah menanamkan karakter yang benar kepada anak-anak sebelum pengaruh lain dari luar ditanamkan ke dalam diri anak-anak. Masa kecil anak-anak adalah seperti tanah yang masih subur, belum banyak lalang yang mengganggu. Tetapi tidak akan ada satu pun benih yang bisa ditanam dari jarak jauh dan bertumbuh baik, begitu juga harus ada kedekatan dan keterlibatan langsung dengan anak untuk bisa menanamkan nilai-nilai dalam hatinya.

Mengganti Popok
Dalam beberapa kegiatan family games yang pernah saya ikuti, saya melihat betapa peranan ayah sangat besar dalam membangun motivasi dan kreatifitas anak sehingga mereka bisa berhasil, tetapi sebaliknya juga bisa sangat menjatuhkan mental si anak jika tidak diungkapkan dengan tepat.
Sebagai contoh, dalam lomba keluarga mewarnai balon yang pernah kami adakan, ada seorang anak yang sudah hampir menyelesaikan karyanya dengan bagus sekali di balon kuningnya ketika tiba-tiba balon tersebut meletus. Si anak menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca hampir menangis, tetapi ayah menghapus air mata si anak dengan sayang dan berkata mantap, “Tidak apa-apa, ayo ayah mintakan lagi balon yang baru dan kita gambar sekali lagi.” Mereka mengulang lagi menggambar balon yang baru. Si anak tampak lebih bersemangat mewarnai balonnya bahkan waktu pengerjaannya lebih cepat dari sebelumnya dan hasilnya pun lebih bagus.
”Sebaliknya dalam sebuah casting untuk pemilihan bintang iklan sebuah produk anak, saya melihat seorang anak laki-laki yang kira-kira berusia 3-4 tahunan gagal menjalankan casting dengan benar seperti yang sudah diajarkan oleh ayah dan ibunya. Si anak kelihatan lelah dan kepanasan karena sudah menunggu lebih dari satu jam sampai tiba gilirannya. Yang membuat saya kaget adalah sikap ayahnya yang merebut botol minuman dari tangan putranya sambil memarahi anaknya, “Gak usah minum, gitu aja gak isa bener, dasar goblok!” dan menangislah si anak sambil diseret pergi oleh ayahnya meninggalkan area panggung. Ibunya hanya diam tidak bisa berbuat apa-apa,” urainya.
Sepertinya sudah saatnya para ayah melakukan emansipasi. Betapa suatu pemandangan yang mengesankan ketika melihat seorang pria mengganti popok bayinya, menyuapi makan anaknya, apalagi membiarkan bayi tertidur lelap di dada ayahnya.
”Itulah sekelumit gambaran mengenai bagaimana peran ayah ikut mengembangkan kecerdasan buah hatinya,” tegas Erna.
Sebagai sebuah ilustrasi bagi para ayah, Erna membagi sebuah kisah. Kisah ini digambarkan sebagai, ”Seorang anak laki-laki berusia 5 tahun bertanya kepada ayahnya mengapa si ayah selalu pulang larut malam dari kantornya.

Si ayah menjawab, ia harus bekerja keras bahkan kadang lembur supaya bisa mendapatkan cukup uang untuk membiayai keluarganya. Lalu si anak bertanya berapa rupiah si ayah dibayar untuk setiap jam lemburnya.

Si ayah menjawab Rp 20.000. Sang ayah tentu merasa heran atas pertanyaan anaknya, apalagi ketika kemudian si anak meminta uang Rp 20.000 kepada ayahnya. Maka bertanyalah si ayah kepada putranya, “Untuk apa kau menanyakan hal itu, Nak? Untuk apa uang sebanyak itu?” Si anak berlari ke kamarnya dan kembali membawa sejumlah uang di tangannya.

“ Tadinya uangku belum cukup yah, tapi sekarang sudah cukup. Ini uang untuk membayar jam lembur ayah selama seminggu, supaya ayah bisa pulang tepat waktu dan menemaniku makan malam dan bermain. Itulah jawaban buah hatinya.