Stereotip gender telanjur mengakar dalam masyarakat kita. Maka, pola asuh anak terbaik adalah tidak membuat perbedaan itu makin tajam. Namun, mungkin Anda masih penasaran, apa pentingnya pola asuh yang tidak mempertajam stereotip gender?

Psikolog Anna Surti Ariani mengatakan, cara pengasuhan menjadi salah satu faktor penting yang berpengaruh akan menjadi seperti apa seorang anak ketika dewasa kelak. Berikut ini beberapa hal yang bisa terjadi ketika seseorang terjebak dalam stereotip gender. Dan ternyata, dibanding wanita, pria ternyata lebih banyak menanggung beban stereotip ini.

Berpengaruh terhadap perilaku suami-istri

Salah satu contoh yang diamati Anna untuk tesisnya adalah pentingnya peran ayah dalam keberhasilan menyusui ASI eksklusif. Mungkin terdengar mudah, padahal, tidak juga. Mengapa? “Karena ternyata si ayah punya berbagai macam konflik yang disebabkan oleh stereotip gender,” kata Anna. Salah satu yang sangat berpengaruh adalah stereotip sebagai breadwinner.

“Sebagai breadwinner, maka fokus laki-laki lebih pada urusan cari uang dan mereka relatif dibebaskan dari urusan rumah, termasuk mengurus anak dan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Padahal, kalau ingin sukses menyusui, artinya si ayah harus terlibat dalam urusan anak dan rumah tangga,” papar Anna.

Konflik batin pun terjadi dalam diri si ayah, “Kalau saya bantu urusan domestik, kok, kesannya nggak laki-laki. Tapi, kalau saya tidak bantuin istri, kok, kasihan juga.”

Menurut Anna, tidak semua pria ternyata bisa mengatasi konflik batinnya itu. Dan kadang-kadang yang timbul ke permukaan terwujud dalam hal-hal kecil (namun ampuh memancing keributan dengan istrinya). “Misalnya, seorang ayah yang canggung menyuapi bayinya. Atau ayah yang karena ketidaktahuannya, memberi makanan gorengan pada bayinya yang berumur 6 bulan. Duh, siapa coba yang nggak kesel? Padahal, maksudnya bukan ingin mencelakakan anaknya, melainkan karena dia tidak tahu. Terlepas dari masalah makanan itu tidak sehat, tindakan si ayah tersebut bisa dipahami sebagai ekspresi kasih sayang terhadap anaknya.

Menyebabkan Minder

Ketika pria tengah menghadapi tuntutan stereotip maskulinitas, dia akan bereaksi dengan banyak cara. Cara pertama adalah merasakan adanya jarak antara dia dengan stereotip ideal yang ingin dia capai. Misalnya, dia ingin jadi breadwinner, tapi ternyata dia tidak mampu. Efeknya, dia bisa minder atau lama-kelamaan depresi, yang bisa diungkapkan dalam berbagai bentuk, seperti mengurung diri, diam, dan tidak mau bicara pada istrinya.

Gampang Melecehkan Orang Lain

Bila terlalu kuat memegang hal-hal ideal yang dituntut sesuai gendernya, orang jadi cenderung melecehkan orang-orang yang tidak mampu memenuhi tuntutan ideal itu. Misalnya, ketika pria dianggap anti menangis. Ketika seorang pria melihat pria lain sedang menangis, tanpa sadar dia akan melecehkan pria yang menangis itu. “Padahal, menangis karena ada alasan, misalnya orang tua meninggal, hal yang wajar,” kata Anna. Namun, pria yang terjebak stereotip akan mengatakan, “Kalau aku jadi kamu, aku tidak akan menangis.” Bentuk-bentuk pelecehan ini, menurut Anna, akan berakibat buruk terhadap perkembangan laki-laki lain.