SALAH satu pihak yang paling menderita saat terjadinya perceraian orangtua, pastilah anak-anak. Karena itu, orangtua harus pintar-pintar membicarakan permasalahan ini agar buah hati tidak mengalami shock atau penurunan mental.

Perceraian pasangan suami-istri (pasutri) kerap berakhir menyakitkan bagi pihak-pihak yang terlibat, termasuk di dalamnya adalah anak-anak. Perceraian juga dapat menimbulkan stres dan trauma untuk memulai hubungan baru dengan lawan jenis. Menurut psikiater Amerika Serikat (AS) Thomas Holmes dan Richard Rahe yang meneliti tingkat stres manusia, perceraian adalah penyebab stres kedua paling tinggi, setelah kematian pasangan hidup.

Angka perceraian di Indonesia mungkin tidak setinggi di AS (66,6 persen perkawinan berakhir dengan perceraian) ataupun di Inggris (50 persen). Namun, kita tahu bahwa di Indonesia pun banyak perkawinan berakhir dengan perceraian, apalagi kalau melihat berita-berita tentang perceraian selebriti Indonesia akhir-akhir ini. Apa sesungguhnya dampak perceraian terhadap mental anak?

Umumnya, orangtua yang bercerai akan lebih siap menghadapi perceraian dibandingkan anak-anak mereka. Hal tersebut karena sebelum mereka bercerai, biasanya didahului proses berpikir dan pertimbangan yang panjang sehingga sudah ada suatu persiapan mental dan fisik.

Tidak demikian halnya dengan anak. Mereka tiba-tiba saja harus menerima keputusan yang telah dibuat orangtua, tanpa sebelumnya punya ide atau bayangan bahwa hidup mereka akan berubah. Misalnya tiba-tiba saja ayah tidak lagi pulang ke rumah, atau ibu pergi dari rumah, atau tiba-tiba bersama ibu atau ayah pindah ke rumah baru.

Hal yang mereka tahu sebelumnya mungkin hanyalah ibu dan ayah sering bertengkar. Atau mungkin ada anak yang tidak pernah melihat orangtuanya bertengkar, karena orangtuanya benar-benar “rapi” menutupi ketegangan antara mereka berdua agar anakanak tidak takut.

Kadang kala, perceraian adalah satu-satunya jalan bagi orangtua untuk dapat terus menjalani kehidupan sesuai yang mereka inginkan. Namun apa pun alasannya, perceraian selalu menimbulkan akibat buruk pada anak, meskipun dalam kasus tertentu dianggap alternatif terbaik daripada membiarkan anak tinggal dalam keluarga dengan kehidupan pernikahan yang buruk.

Jika memang perceraian adalah satu-satunya jalan yang harus ditempuh dan tak terhindarkan lagi, apa tindakan terbaik yang harus dilakukan orangtua untuk mengurangi dampak negatif perceraian tersebut bagi perkembangan mental anak-anak mereka? Artinya, bagaimana orangtua menyiapkan anak agar dapat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi akibat perceraian?

Menurut M Gary Neuman, seorang pakar perceraian dari AS, ada tiga hal yang perlu dipatuhi saat pertama kali orangtua memberi tahu anak akan bercerai. Pertama dan yang paling penting adalah kedua orang tua harus bersama-sama memberi tahu anak-anak. Hal ini mesti dilakukan untuk menciptakan kesan kebersamaan saat rutinitas keluarga akan berubah. Ayah dan ibu memiliki waktu 45 detik pertama supaya perhatian anak-anak tidak berlarian ke mana-mana saat mendengar kalimat “Ayah dan Ibu tidak akan tinggal bersama lagi”.

Ada tiga pesan penting, terang dia, yang perlu disampaikan pada anak di waktu yang singkat itu, yaitu “Ayah dan Ibu sudah membuat kita berdua sedih, jadi rasanya untuk seterusnya lebih baik Ayah dan Ibu tidak tinggal sama-sama lagi”, “Kakak dan adik akan menghabiskan banyak waktu sama Ayah dan Ibu di rumah kita masing-masing” dan ”Ayah dan Ibu cerai sama sekali bukan salah kakak atau adik.”

Gary meminta orangtua melatih sesering mungkin apa yang harus dikatakan di depan anak-anak. “Mungkin pada kumpul-kumpul pertama kali dengan anak-anak, jangan gunakan dulu kata cerai. Bicarakan saja tentang rumah yang jadi ada dua, yaitu rumah Ayah dan rumah Ibu,” katanya.

Setelah Ayah dan Ibu mengutarakan tiga pesan tadi, Gary melanjutkan, tetap terus temani anakanak. Dengarkan apa yang mereka rasakan, mungkin mereka menangis atau marah. Temani mereka sambil mungkin dipeluk dan menjawab semua pertanyaan anak-anak.

Memang, masa ketika perceraian terjadi merupakan masa yang kritis buat anak, terutama menyangkut hubungan dengan orangtua yang tidak tinggal bersama. Berbagai perasaan berkecamuk dalam batin anak-anak. Pada masa ini, anak juga harus mulai beradaptasi dengan perubahan hidupnya yang baru.

Hal-hal yang biasanya dirasakan anak ketika orangtuanya bercerai adalah tidak aman, tidak diinginkan atau ditolak oleh orangtuanya yang pergi, sedih dan kesepian, marah, kehilangan, merasa bersalah, menyalahkan diri sendiri sebagai penyebab orangtua bercerai.

Perasaan-perasaan itu oleh anak dapat termanifestasi dalam bentuk perilaku suka mengamuk, menjadi kasar, dan tindakan agresif lainnya, menjadi pendiam,tidak lagi ceria, tidak suka bergaul, sulit berkonsentrasi, dan tidak berminat pada tugas sekolah sehingga prestasi di sekolah cenderung menurun, suka melamun, terutama mengkhayalkan orangtuanya akan bersatu lagi.

Proses adaptasi pada umumnya membutuhkan waktu. Pada awalnya, anak akan sulit menerima kenyataan bahwa orangtuanya tidak lagi bersama. Meski banyak anak yang dapat beradaptasi dengan baik, banyak juga yang tetap bermasalah bahkan setelah bertahun-tahun terjadinya perceraian. Anak yang berhasil dalam proses adaptasi, tidak mengalami kesulitan yang berarti ketika meneruskan kehidupannya ke masa perkembangan selanjutnya.

Tetapi bagi anak yang gagal beradaptasi, dia akan membawa hingga dewasa perasaan ditolak, tidak berharga dan tidak dicintai. Perasaan-perasaan ini dapat menyebabkan anak tersebut, setelah dewasa, menjadi takut gagal dan takut menjalin hubungan yang dekat dengan orang lain atau lawan jenis.

Beberapa indikator bahwa anak telah beradaptasi adalah menyadari dan mengerti bahwa orangtuanya sudah tidak lagi bersama dan tidak lagi berfantasi akan persatuan kedua orangtua, dapat menerima rasa kehilangan, tidak marah pada orangtua dan tidak menyalahkan diri sendiri, serta menjadi dirinya sendiri lagi.

Berhasil atau tidaknya seorang anak dalam beradaptasi terhadap perubahan hidupnya ditentukan daya tahan dalam dirinya sendiri, pandangannya terhadap perceraian, cara orangtua menghadapi perceraian, pola asuh dari si orangtua tunggal dan terjalinnya hubungan baik dengan kedua orangtuanya.

Bagi orangtua yang bercerai, mungkin sulit untuk melakukan intervensi pada daya tahan anak, karena hal tersebut tergantung pada pribadi masing-masing anak. Namun sebagai orangtua, dapat membantu anak untuk membuat mereka memiliki pandangan yang tidak buruk tentang perceraian yang terjadi dan tetap punya hubungan baik dengan kedua orangtuanya.