Anak merupakan investasi yang sangat penting bagi penyiapan sumber daya manusia (SDM) di masa depan. Dalam rangka mempersiapkan SDM yang berkualitas untuk masa depan, pendidikan merupakan salah satu hal terpenting untuk diberikan sejak usia dini, disamping juga anak harus dipenuhi kebutuhan lainnya, seperti misalnya kebutuhan akan gizi. Pendidikan merupakan investasi masa depan yang diyakini dapat memperbaiki kehidupan suatu bangsa dengan memberikan perhatian yang lebih kepada anak usia dini untuk mendapatkan pendidikan, merupakan salah satu langkah yang tepat untuk menyiapkan generasi unggul yang akan meneruskan perjuangan bangsa.

Pendidikan anak usia dini merupakan peletak dasar bagi perkembangan anak selanjutnya. Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar, pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal dan/atau informal, pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-kanak (TK), Raudhatul Atfhal (RA) atau bentuk lain yang sederajat. Taman Kanak-kanak adalah salah satu bentuk pendidikan anak usia dini yang menyediakan program pendidikan bagi anak usia empat tahun sampai memasuki pendidikan dasar. Pendidikan dan pembelajaran di TK merupakan suatu upaya untuk membantu meletakkan dasar perkembangan semua aspek tumbuh kembang bagi anak sebelum memasuki pendidikan dasar.
Basis dari pembelajaran TK adalah untuk bersosialisasi, bermain, dan bergembira. Seharusnya semua pengelola TK tahu akan hal itu, ternyata kesesuaian antara teori dan praktek tidaklah selalu berjalan dengan harmonis. Pada kenyataannya banyak lembaga TK bukan lagi tempat untuk bermain dan bergembira melainkan menghilangkan kegembiraan anak yakni membebani anak dengan pelajaran yang bersifat skolastik, seperti membaca, menulis, berhitung, bahkan imla/dikte. Pelajaran skolastik seperti itu jelas melebihi porsi untuk anak TK.
Seharusnya pelajaran skolastik untuk anak TK diberikan melalui bermain, dan bukan seperti pelajaran skolastik yang selama ini terjadi di SD. Akibatnya secara praktek pelajaran skolastik ini berubah menjadi mata pelajaran seperti di SD dan mendapat perhatian lebih dari yang lain. Untuk ukuran keberhasilan pun sudah bukan lagi kemajuan perilaku anak, pengembangan daya cipta anak, daya pikir anak dan ketrampilan.
Usia 5-6 tahun merupakan masa penting untuk membentuk kepercayaan diri. Menurut Erikson dalam Santrock, pada masa ini anak masuk dalam tahap kategori tingkatinitiative versus guilt, dimana ketika anak-anak menghadapi suatu dunia sosial yang lebih luas, anak akan merasa lebih tertantang dari masa bayi. Anak-anak diharapkan menerima tanggung jawab dengan apa yang dilakukan.
Beberapa guru di lembaga pendidikan anak usia dini kurang memotivasi anak untuk menggunakan pembelajaran aktif (learning by doing). Pendekatan pembelajaran yang digunakan adalah pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada aktivitas guru, bukan pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada aktivitas anak. Pada pembelajaran demikian, guru lebih banyak mendominasi aktivitas pembelajaran, sedangkan anak pasif sehingga proses belajar yang terjadi memasung pengembangan potensi anak. Sehingga perlu pembinaan secara serius dalam sebuah kegiatan yang memang sengaja diciptakan untuk menumbuhkankembangkan kepercayaan diri anak.
Salah satu hal yang dapat diterapkan adalah mempersiapkan pembelajaran yang memungkinkan anak mengembangkan kemampuannya secara optimal. Pengembangan potensi anak secara optimal oleh para guru perlu diperhatikan dan merupakan hal terpenting bagi guru dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik, apalagi pendidik anak usia dini pada lembaga pendidikan formal.
Hal tersebut sebenarnya merupakan dasar pemikiran atau rasional mengapa anak perlu dan harus dikembangkan potensinya, jika keadaan ini terus menerus terjadi dan berlangsung dalam jangka waktu lama, tentunya dapat menghambat pencapaian tujuan pendidikan secara keseluruhan. Untuk mengatasi hal ini, guru perlu mempertimbangkan penggunaan berbagai pendekatan pembelajaran yang memungkinkan pengembangan potensi anak, sehingga dapat meningkatkan kepercayaan diri.
Pendekatan yang dimaksud adalah kegiatan bercerita. Penerapan kegiatan bercerita ini merupakan salah satu pendekatan yang dapat dipertimbangkan, sebab melalui penerapan kegiatan bercerita tersebut akan terkondisikan untuk melibatkan diri anak secara aktif dalam proses pembelajaran. Hal ini dikemukakan oleh Soderman dan Farrel bahwa Jika anak terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran maka anak akan mengalami sendiri proses belajar itu. Dengan demikian anak akan mampu, memproses, menemukan, dan mengembangkan potensi dalam dirinya terutama kepercayaan diri.
Selain itu, melalui penerapan kegiatan bercerita ini dapat membiasakan anak untuk menjadi lebih terbuka mengekspresikan rasa senang dan rasa tidak senangnya terhadap berbagai hal yang dialaminya dan berani tampil di depan kelas. Hal ini sesuai dengan hakikat belajar itu sendiri, yakni memperoleh perubahan perilaku yang bersifat permanen atau menetap yang dapat bermanfaat untuk menjalani kehidupan selanjutnya dan tidak mungkin tercapai tanpa disertai upaya, motivasi serta kemauan guru untuk lebih memahami dan melaksanakan peranan, tugas-tugas dan fungsinya sebagai pengelola proses pembelajaran

Melalui kegiatan bercerita, kepercayaan diri anak dapat ditingkatkan. Setelah diberi tindakan, anak akan lebih percaya diri ketika bercerita di depan kelas, mampu mengungkapkan pendapatnya dengan baik. Anak tidak malu lagi saat bergabung dengan anak lain dan mau berkomunikasi dengan anak lain serta mengerjakan setiap kegiatan yang diberikan tanpa mengeluh. Hal ini akan membuat anak menjadi orang yang memiliki kepercayaan diri tinggi dan tidak mudah menyerah serta putus asa sebelum mencoba suatu tantangan.

Agar penerapan kegiatan bercerita dapat dioptimalkan dengan baik maka materi harus disesuaikan dengan karakteristik anak, misalnya dalam pemilihan buku cerita yang akan digunakan, media yang digunakan harus lebih menarik perhatian anak sehingga anak tidak merasa bosan dengan kegiatan tersebut. Selain dua hal tersebut diatas, penerapan kegiatan bercerita pun harus didukung dengan suasana kelas yang mendukung proses kegiatan tersebut, yaitu dengan pengkondisian anak sebelum memulai kegiatan bercerita, bahasa yang disampaikan guru dalam memberikan instruksi pada anak harus jelas dan singkat serta mudah dipahami anak. Variasi kegiatan bercerita yang dilakukan mampu menarik perhatian anak untuk mengikuti kegiatan bercerita sampai akhir.

Dengan adanya penyajian dan pemberian kegiatan bercerita yang dilakukan dengan menggunakan berbagai media yang bervariasi dapat melatih kepercayaan diri anak untuk melakukan setiap kegiatan baru tanpa adanya ketakutan dalam diri untuk mencoba.


sumber:http://nurulfikri.sch.id