Setiap orang tua tentu ingin anak-anaknya tumbuh dan berkembang dengan baik dan sehat serta memiliki karakter yang baik serta memiliki akhlak dan moral yang tinggi. kita tahu manusia selain makhluk individu, juga makhluk sosial, aartinya manusia juga membutuhkan orang lain tak bisa hidup sendiri. Dalam upaya memperoleh bantuan dari orang lain itulah maka ada tata caranya, ada aturan-aturan agar tiap orang bisa mencapai tujuannya.

Aturan ini secara budaya akhirnya dikenal sebagai norma. Norma tersebut akan sampai kepada individu melalui 3 hal, yaitu sosialisasi, internalisasi, dan identifikasi. Ketiga hal tersebut dimulai sejak dini, sejak anak mulai berinteraksi dengan lingkungan. Bukankah sosialisasi terjadi saat anak mulai mengenal lingkungan di dalam maupun di luar rumah, tapi terutama lingkungan di dalam rumah karena itulah dasarnya. Saat itulah basic trust terbentuk. Dari bayi sampai usia setahun, ia mulai belajar dirinya berharga atau tidak. Di sini ia mulai mengembangkan bagaimana caranya agar ia eksis di lingkungannya.

Tentunya, untuk bisa eksis akan banyak tuntutan yang harus ia terima. Diantaranya aturan, baik yang tertulis maupun tidak. Namun bagi anak, tak masalah apakah aturan itu tertulis atau tidak. Yang penting, apa yang sampai kepadanya. Proses sampai kepada dirinya itu dinamakan internasilisasi. Selanjutnya, ia akan menyerap melalui proses imitasi dari orang-orang terdekatnya, yaitu figur-figur yang bermakna buatnya, entah ibunya, ayahnya, kakaknya, atau malah pengasuhnya. dari proses imitasi inilah muncul identifikasi, ia mencoba meniru apa yang dilakukan orang dewasa yang ia pilih dan punya makna buatnya. Biasanya figur tersebut adalah orang tua atau kakak.

Itulah mengapa, sejak anak mulai mengenal lingkungan pembentukan norma atau moral menjadi sangat penting. penanaman nilai-nilai moral ini akan lebih mudah terserap oleh anak bila dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Sampai nanti ia berusia 10 tahun, apa yang kita sampaikan akan membentuk sistem nilai tersendiri. Selanjutnya sistem nilai ini akan membentuk dalam dirinya hingga ia besar nanti.

Agar ia tahu aturan, kecerdasan moralnya harus dikembangkan, tentu secara bertahap. Mulailah dengan konsep boleh dan tak boleh, bukan konsep salah benar karena anak belum mengerti apa itu salah dan benar. Tapi kalau sesuatu boleh dan tak boleh dilakukan, akan lebih mudah diterima oleh konsep berpikirnya. Selanjutnya bila ia dimarahi karena melakukan hal yang tak boleh, barulah ia tahu bahwa itu salah.

Tapi jangan lupa, aturan harus jelas. Misal, “kakak tidak boleh meludah sembarangan”, kalau ia tanya “kenapa, Ma? jelaskan alasannya. Dari sini orang tua bisa masuk pada konsep sopan dan tak sopan. Dalam kultur Timur, konsep sopan dan tak sopan merupakan norma pertama, baru kemudian konsep benar dan salah. Namun begitu, jangan langsung katakan bahwa ia tak sopan karena ia tak bisa langsung menangkap apa itu sopan.

Jadi, penjelasannya harus secara kongkret dulu. Misal, “itu tidak boleh karena ludah mengandung kotoran.” Kendati secara kultur bukan karena kotorannya yang penting melainkan sopan dan tak sopan. Baru kemudian dilanjutkan “itu juga tidak sopan kalau kakak meludah sembarangan.” Dengan demikian, ia akhirnya akan mengaitkan bahwa yang baik dan sopan itu kalau tidak meludah semabarangan, hal ini kongkret untuk anak.

Contoh lain, “kakak tidak boleh lewat begitu saja di depan orang tua, itu tidak baik. Yang baik itu kalau lewat di depan orang tua, jalannya dengan menunduk, itu yang sopan.” ia akan mengaitkan bahwa yang baik dan yang sopan itu kalau lewat di depan orang tua dengan menunduk.

Jadi, jangan cuma asal melaeang tapi juga menjelaskan kenapa tidak boleh dan kenapa boleh, agar anak tak bingung. Disamping ia menyerap konse p boleh dan tak boleh untuk dikembangkan pada konsep benar dan salah. Bukankah kita hendak membenahi sistem nilai yang salah? jadi, ia perlu memperoleh penjelasan supaya tahu persis kenapa boleh dan kenapa tak boleh sehingga ia lebih menyerap.

Contoh lain lagi, saat bertamu. Terangkan dengan jelas, “Adek tak boleh berlarian kesana ke mari, itu tidak baik dan tak sopan dilakukan di rumah orang.” Terangkan pula apa yang boleh, misal “yang boleh dilakukan kalau di rumah orang adalah duduk, kalau dikasih minum bilang terima kasih. kalau adek minum, bilang permisi dulu itu namanya sopan.” Dengan demikian, konsep sopan santun dan boleh tidak ini akan mudah terserap olehnya.

Tentu memberi tahunya sebelum berangkat bertamu, menjelang situasi yang akan ia jumpai. jangan terlalu awal memberi tahunya, misal beberapa minggu sebelumnya, ia akan cepat lupa tapi kalau sesaat sebelum pergi, ia akan mudah mengingatnya.

yang jelas, konsep norma harus terus-menerus diberikan kepada anak, hingga semakin hari semakin banyak konsep norma yang tertanam dalam dirinya.

Selanjutnya, bila ia melanggar hal yang tak boleh, harus ada konsekuensinya berupa hukuman, sebaliknya bila ia patuh, berilah pujian atau hadiah. dari sini ia belajar tentang konsep benar-salah. Bukankah dengan mendapat konsekuensi, ia jadi tahu bahwa sesuatu itu salah atau benar? kalau ia mendapat pujian karena tingkah lakunya, berarti apa yang dilakukannya itu benar. Tapi kalau tingkah lakunya itu mendapat hukuman, berarti ia salah.

Tentu perihal salah tidaknya perilaku si anak harus diberitahui orang tua. Misal, selama bertamu ia duduk dengan sopan dan manis, ia pun permisi dulu saat hendak main. Sepulang bertamu, kita harus menjelaskan “Tadi perilaku adek itu benar, Mama bangga karenanya. Nanti kalau bertamu lagi ke rumah orang lain harus seperti itu ya”! Dengan demikian, ia mendapat masukan langsung apa itu yang benar dan salah.

Kita pun bisa mengaitkan konsep benar-salah dengan konsep kejujuran,keadilan,persaudaraan,dan menghormati orang lain. Tinggal orang tua mau menanamkan konsep mana yang utama untuk anaknya. jadi, bila kita ingin si kecil punya prinsip yang kuat, menghargai orang lain, maka itulah yang harus terus-menerus secara konsisten ditanamkan kepadanya.