Betulkah Anak Pemberani Bisa Berubah Jadi Penakut?

Ketika anak berusia 2-3 tahun perkembangan emosi dan kemampuan berpikirnya masih berkisar pada “aku”, masih egoistik dan berpusat pada diri sendiri. Pada saat memasuki usia 5-6 tahun anak sudah mulai sadar, peka akan lingkungan di sekitarnya baik itu benda maupun manusia. Anak menyadari keberadaannya di tengah kelompok: keluarga, teman bermain, teman sekelas dll. Jika ketika kecil ia lebih sibuk dengan diri sendiri tanpa peduli apa kata orang lain,sekarang apa yang dikatakan orang tentang dirinya atau reaksi orang terhadap tingkah lakunya menjadi perhatian anak.



Selain itu ia juga mulai membandingkan dirinya dengan orang di sekelilingnya: kakak, adik, termasuk teman-teman sekelasnya. Di usia ini persepsi anak tentang diri sendiri ditentukan oleh: apakah aku pandai, secara fisik menarik, punya banyak teman, sukses dibandingkan dengan orang lain. Keseluruhan pandangan ini akan membentuk konsep diri anak dan rasa percaya diri.



Mulai muncul perasaan: aku bisa melakukan sesuatu dengan “baik” atau “tidak baik”. Ada ketakutan untuk berbuat salah atau melakukan hal yang kelihatan konyol/memalukan di hadapan orang lain, yang biasanya mengundang komentar tak menyenangkan bagi anak (ditegur, dimarahi, diejek, ditertawakan) sehingga tak jarang anak jadi takut untuk mencoba-coba (hal yang baru).



Ketakutan pada hal yang baru atau bersifat menantang bisa sangat beragam bentuknya, mulai dari mencoba makanan baru, mengunjungi tempat yang baru, melakukan gerakan permainan/olahraga yang tampak “sulit” (menangkap bola dari jarak “jauh”, meniti papan yang agak tinggi), membaca kalimat yang panjang (panjang = susah) sampai dengan berkenalan dengan teman-teman baru.



Orang Tua Bisa Sangat Mempengaruhi

Karena perasaan takut gagal lebih disebabkan oleh respons orang di sekitar yang tidak menyenangkan dan menimbulkan konsep diri yang buruk, maka untuk mengurangi rasa takut gagal ini kita perlu mengkontrol respons orang di sekitar anak. Orang-orang di sekitar hidup anak yang paling berpengaruh tentunya nomor 1 adalah orang tua, pengasuh, lalu guru, baru orang lain (anggota keluarga besar, tetangga, teman les, tamu, orang asing).



Sebagai orang yang paling berpengaruh pada hidup anak terutama di masa dini, maka orang tua bisa melakukan hal-hal berikut untuk membantu anak berani menghadapi tantangan:



Perhatikan cara anda ber-reaksi. Bagaimana nada suara, reaksi wajah, dan kata-kata yang anda ucapkan jika melihat anak anda berbuat kesalahan? Pertanyaan “Kenapa bisa jatuh?” dengan nada keras saja sudah cukup membuat ciut nyali seorang anak yang terpeleset jatuh dan mengotori bajunya. Belum lagi ditambah dengan “lain kali lihat dong kalau sedang jalan”. Anak salah menghitung barang dan anda mengernyitkan dahi sambil berkata,”Masa 2? Salah dong!”, akan membuat anak merasa bahwa membuat kesalahan adalah suatu yang “tercela”.



Ciptakan suasana penerimaan (acceptance). Suatu ketika putriku pernah berkata,”Mr. D tidak pernah marah kalau aku salah, Mama. Katanya: bikin salah itu nggak apa-apa”. Kira-kira beginilah suasana penerimaan yang yang harus kita bangun di rumah. Jika anak tidak merasa takut dimarahi atau diperolok karena kesalahan atau kegagalannya maka ia akan berani untuk mencoba lagi sampai berhasil.



Sambut/hargai hal-hal yang kecil. Bergembiralah untuk setiap “keberhasilan” anak. Perhatian orang tua dalam bentuk pujian, pelukan, dukungan juga sangat berperan dalam mendorong anak untuk berani mengambil resiko. Jangan hanya mementingkan hal-hal yang besar tapi yang keliatannya “kecil” dan sepele perlu mendapatkan pujian jika anak berhasil melakukan dengan baik. Misalnya: menghabiskan makan di piring sampai bersih, membaca 2 kalimat dalam 1 halaman dengan benar. Jika anak merasa bangga pada setiap “keberhasilan” kecilnya, maka berikutnya ia akan terpacu untuk mencoba sesuatu yang lebih menantang.



Beri contoh tingkah-laku mengambil resiko. Bagaimana anda mengharapkan si anak untuk berani les berenang jika anda sebagai orang tua saja enggan masuk ke kolam dengan alasan tidak bisa berenang? Jauhi sikap menghindar dengan berdalih macam-macam, menunjukkan rasa takut dan ragu yang berlebihan. Perlihatkan kemauan untuk mencoba, berani, legowo menerima kegagalan/kesalahan, tetap tenang, bersemangat dan optimis. Jika anak melihat bahwa orang tuanya berani mengambil resiko (belajar renang) dan tidak malu/takut tersedak air, kedinginan, tekun meski berbuat salah, maka lambat-laun anak akan meniru sikap anda.



Tekankan pentingnya latihan. Selain mengambil resiko, anak juga harus tahu bahwa untuk mengatasi kegagalan dibutuhkan latihan yang terus-menerus, dan kemauan untuk mencoba dan mencoba lagi tanpa putus asa. Selain dengan memberi contoh dari tingkah laku anda pribadi, ada banyak bacaan yang mengajarkan pentingnya ketekunan dan kerja keras, seperti: kisah tokoh-tokoh dunia (Walt Disney, Thomas Alfa Edison, dll).



Adakan hari “Menghadapi Tantangan”. Kegiatan menantang yang dilatihkan ke anak akan lebih menarik dan menimbulkan motivasi jika dilakukan dengan cara unik. Buatlah 1 hari dalam seminggu menjadi hari dimana seluruh keluarga mencoba sesuatu yang baru, bisa merupakan satu hal yang sama untuk semua anggota keluarga, atau masing-masing anggota keluarga memilih apa yang ingin dicobanya. Yang penting semua usaha mencoba menghadapi tantangan harus dirayakan bersama sebagai keberhasilan.