Tahukah anda bahwa dasawarsa terakhir ini telah tercatat rentetan laporan tentang lenyapnya sopan santun dan rasa aman, yang menyiratkan serbuan sifat jahat. Hal ini mencerminkan meningkatnya ketidakseimbangan emosi, keputusasaan, dan rapuhnya moral di dalam keluarga kita, masyarakat, dan kehidupan kita bersama.

Tahun-tahun ini telah merekam meningkatnya tindak kekerasan dan kekecewaan, entah dalam kesepian anak-anak yang terpaksa ditinggal sendiri atau diasuh babysitter dan televisi, atau dalam kepahitan anak-anak yang disingkirkan, disia-siakan, atau diperlakukan dengan kejam dalam keluarganya. Meluasnya
penyimpangan emosional terlihat pada melonjaknya angka tingkat depresi di seluruh dunia dan pada tanda-tanda tumbuhnya gelombang agresivitas.

Anda tentu tidak ingin putra-putri anda mengalami hal semacam itu, bukan? Karena dapat menghambat kreatifitas dan kualitas hidupnya sebagai manusia di masa depan. Agar hal tersebut tidak terjadi, maka tentu saja anda wajib melakukan pembelajaran tentang kecerdasan emosi. Anak akan melihat contoh dari orang tuanya terlebih dahulu. Baru dia akan melakukannya.

Salah satu yang bisa dilakukan adalah membacakan buku cerita tentang bagaimana menerima diri sendiri apa adanya untuk menghilangkan rasa kecewa. Pangku anak sehingga dia merasa nyaman. Lalu anda mulai bercerita.

Sekawanan gajah hidup di tengah hutan. Gajah-gajah tersebut berwarna abu-abu. Ada seekor anak gajah yang manis. Kulitnya berwarna biru. Si anak gajah sangat periang. Pada suatu hari, dia berjalan-jalan sendirian. Dia bertemu dengan jerapah. Si jerapah bertanya sambil tersenyum, "Kenapa warnamu biru? Semua gajah berwarna abu-abu." Ditanya seperti itu, si anak gajah tidak bisa menjawab. Dia hanya bilang bahwa dia akan bertanya kepada ibunya.

Di tikungan berikutnya dia bertemu dengan monyet. Dan monyet bertanya hal yang sama, kenapa anak gajah berwarna biru, kenapa tidak abu-abu saja seperti yang lainnya. Si anak gajah lalu pulang dan bertanya kepada ibunya. Si ibu menjawab, "Nak, apapun warna kulitmu, kamu tetap anak ibu. Dan kamu tetap gajah yang manis. Warna biru juga bagus kok." Si anak gajah pun tidak merasa kecewa lagi.

Keesokan harinya, dia bermain-main di dekat sekawanan kuda. Ada anak kuda mendekatinya dan bertanya kenapa warnanya biru. Si anak gajah kembali kecewa karena ternyata jawaban ibunya tidak membuatnya diterima oleh yang lainnya. Malahan dia ditertawakan dan tidak diajak ikut bermain.

Dengan rasa sedih di hatinya, dia berjalan sendirian menuju ke padang rumput. Di sana banyak tumbuh bunga-bunga liar yang sangat indah. Ada juga kupu-kupu dan burung-burung saling berkejaran. Wah si anak gajah merasa sangat senang karena warna mereka juga biru. Ini dia nih, teman-temanku. Pasti mereka mau menerimaku dan mengajakku bermain. Begitu katanya dalam hati. Dia lalu memanggil kupu-kupu dan burung-burung itu. Tapi mereka malah terbang menjauh. Si anak gajah sangat kecewa. Aduh, aku tidak punya teman, dia menggerutu lagi.

Dengan lunglai dan sedih, dia berjalan ke arah sekolah. Di sana banyak anak sekolah yang sedang bermain. Ada yang main petak umpet, ayunan, kuda putar, pokoknya mereka kelihatan sangat gembira. Melihat ada anak gajah datang, anak-anak yang sedang bermain itu lalu mengerumuninya. Mereka mengajaknya
bermain. Anda tahu tidak apa yang ada dalam pikiran anak gajah. Ternyata anak-anak itu berseragam baju biru. Dia berpikir bahwa karena warnanya sama, biru, maka dia diajak main bersama. Maka mereka bermain sampai bel sekolah berbunyi tandanya semua murid harus masuk kelas. Murid-murid itu berkata bahwa gajah harus menunggu hingga jam sekolah selesai. Jadi mereka bisa bermain lagi.

Tiga puluh menit kemudian bel sekolah berbunyi tanda semua murid boleh pulang. Pada saat keluar kelas, semua murid tidak lagi berseragam biru. Mereka memakai baju berwarna-warni. Ada yang merah, hijau, kuning, hitam, putih, abu-abu, ungu. Wah, seperti pelangi dech. Si anak gajah sempat merasa was-was.
Jangan-jangan dia tidak diajak main lagi. Tapi dengan tidak disangkanya, mereka kembali bermain dengan anak gajah dengan senangnya. Ada yang naik di punggungnya. Ada yang bermain dengan belalainya. Ada yang bergelayut di kakinya. Ada juga yang menggelitiknya sampai dia merasa geli dan tertawa cekikikan.

Tak terasa hari telah menjelang sore. Murid-murid telah dijemput oleh orang tuanya. Si anak gajah pun merasa harus segera pulang. Tidak ingin membuat ibunya khawatir. Mereka berjanji akan bermain lagi keesokan harinya.

Hari itu merupakan hari yang paling membahagiakan bagi si gajah kecil. Karena mulai saat itu, dia tidak merasa kecewa lagi dengan warna biru kulitnya. Ibunya berkata benar. Kalau kita bisa menerima di dalam hati kita, bahwa perbedaan itu indah, seindah pelangi di langit.

Nah, cerita di atas dapat dijadikan salah satu pedoman untuk menanamkan kecerdasan emosi kepada anak anda sejak usia dini.