17 Jan 2010 Koran Tempo
Ketika anak berpikir kritis, orang tua hendaknya selalu menjawab pertanyaannya.Sebab, bertanya merupakan salah satu sarana berpikir bebas dan kritis.

Pada liburan akhir tahun 2008, Zakky Hakim dan keluarganya berlibur ke Puncak, Bogor, Jawa Barat. Perjalanan dari rumah di Perumahan Kelapa Gading, Jakarta Utara, ditempuh dengan kendaraan pribadi, diwarnai senda-gurau antaranggota keluarga. Ryan, 5 tahun, putra sulung Zakky, tampak sangat menikmati panorama di sepanjang jalan. Terutama hamparan sawah dan perbukitan di kawasan Puncak."Papa, ayo nyopirnya yang kenceng, masak larinya kalah sama gunung," kata Ryan.

"Kakak, gunung itu kan tidak bisa bergerak, yang bergerak kita," jawab ayahnya."Kenapa tidak bisa bergerak?" tanya Ryan lagi."Karena gunung benda mati," Zakky melanjutkan."Kenapa mati, siapa yang membunuhnya? Spider. Man?" Sampai di sini Zakky kehabisan kata untuk menjawab. "Bingung saya untuk menjawab," ucap Zakky mengenang.Serangkaian pertanyaan Ryan adalah bagian dari berkembangnya kemampuan kognitifnya. Menurut Evita Adnan, konselor keluarga dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak DKI Jakarta, kemampuan kognitif anak mulai kelihatan pada usia 2-5 tahun. Sensomya pun sudah mulai bekerja dengan baik, sedangkan interaksi sosial dengan lingkungan sekitar merangsang saraf sensorik-nya. Saat itulah anak sering bertanya apa saja, karena rasa keingintahuannya.Karena keingintahuan itulah, anak terkadang banyak bergerak ke sana-sini. Misalnya, ada seorang anak yang sedang bermain di sebuah taman kanak-kanak mendadak berlari ke luar kelas karena mendengar suara tukang pat-ri menjajakan jasanya. Ia mengejar sumber suara itu. Guru yang tidak paham, lazim jika kontan marah, pun berkata, "Siapa yang menyuruh kamu ke luar kelas?" Begitu Evita mengilustrasikan rasa ingin tahu anak kepada Tempo, Kamis lalu.

Dalam kasus tersebut, yang harus dilakukan guru mestinya mencari tahu, apa yang mendorong si anak berlari ke luar kelas, kemudian menjelaskan siapa itu tukang patri Dalam hal ini, bahkan tak jarang orang tua yang justru menganggap anaknya terlalu cerewet. Padahal justru dengan banyak bertanya, hal itu menunjukkan bahwa anak mempunyai kemampuan intelektual yang tinggi.Selain rasa ingin tahu, pada usia balita itu kemampuan otak anak berusaha merekam sesuatu dengan sangat baik. Karena itu, orang tua hendaknya pandai menjelaskan setiap pertanyaan kritis dengan bahasa yang bisa diterima oleh anak. Dalam kasus Ryan, orang tua harus menjelaskan dengan alat peraga atau sesuatu yang sifatnya nyata. Bukan hanya penjelasan secara verbal. Sebab, anak-anak pada usia ini belum mampu menerima sesuatu yang sifatnya abstrak.

"Ambillah alat peraga, misalnya jam. Lalu jelaskan Ryan, lihat jam ini. Kalau mati dia tidak bergerak, kan? Begitu juga gunung. Ini semua benda mati, tapi tidak berarti ada yang membunuh," Evita menerangkan. Pada masa-masa ini, sedapat mungkin orang tua selalu mendampingi anak atau pa; ling tidak selalu menyempatkan berdialog sebebas mungkin, menjawab setiap pertanyaan mereka.Sangat disayangkan jika orang tua justru tidak meladeni pertanyaan anak dengan alasan tidak ada waktu atau sudah capai setelah pulang kerja. Atau justru membentak. Sebab, hal itu dapat menghambat kemampuan kognitif anak. Karena itu, pada usia ini anak tidak hanya dipercayakan kepada pembantu. Sebab, bisa jadi si anak akan mendapat jawaban yang salah atau malah menjerumuskan.

Menurut Evita, orang tua mesti waspada ketika si anak balita tidak memiliki rasa ingin tahu sama sekali. Bisa jadi kemampuan intelektualnya di bawah rata-rata. Pada kondisi ini, orang tua hendaknya merangsang rasa ingin tahu anak, mendidik anak berpikir secara kritis sejak dini. Misalnya dengan mengajak bermain di alam bebas. Biarkan anak berinteraksi langsung dengan lingkungan sekitar, kemudian diajak berkomunikasi, ajak berdiskusi kecil mengenai apa saja yang dia temui.Rangsangan intelektual melalui interaksi dengan lingkungan alam sekitar niscaya dapat membantu anak mempertajam kemampuan berpikirnya. Bisa juga dilakukan dengan membacakan cerita yang menarik, menjelaskan tentang suatu benda atau tempat yang dikunjungi, atau apa saja yang ditemui di sepanjang perjalanan atau lingkungan sekitar. Dengan begitu, diharapkan anak dapat terpancing untuk selalu bertanya, karena bertanya merupakan salah satu sarana berpikir bebas dan kritis.