Si kecil sering jadi sasaran empuk anak yang lebih besar.
“Mamaaaaaaaaa!” tangis Ica pecah seketika. Rupanya ia diserang sang kakak yang memang menjadi sparing partner-nya sehari-hari.Sang mama buru-buru mendekat untuk memisahkan mereka. Tapi kadang “tim SAR” datang terlambat; si adik sudah menangis duluan karena berseteru dengan sang kakak.

Kalau begitu, bisakah mengajari anak batita ilmu bela diri? Bisa sih bisa, tapi jangan bayangkan adegannya seperti film The Karate Kid. Soalnya tetap saja orangtualah yang dituntut berperan menengahi kericuhan antarbocah ini. Jurus bela diri yang dimaksud adalah menjauh dari si penyerang. Kalau respons seperti itu belum dapat dilakukan si kecil, kitalah yang harus menjauhkannya dari si penyerang.

Apakah cukup selesai sampai di situ? Ternyata tidak. Biasanya mulut suka gatal tuh, mengomentari kelakuan si penyerang, ya enggak? Padahal sebaiknya saat memisahkan dua anak yang sedang berseteru, kita tidak dianjurkan untuk menyalahkan siapa-siapa. Cukup katakan saja, “Kakak enggak boleh memukul ya. Ica, kan, sakit.” Jangan lupa pesankan hal ini pada pengasuh atau orang dewasa lainnya di rumah. Dengan begitu selagi si batita tak berada dalam pantauan langsung orangtua, pengasuh atau orang dewasa lainnya tadi bisa melakukan hal yang sama.

Segera setelah itu ada 2 hal yang perlu dilakukan. Pertama, menenangkan anak yang menangis. Kedua, menanyakan padanya kenapa kejadian tersebut bisa terjadi. “Kalau kejadian itu muncul karena si batita yang bersikeras tak mau gantian main, beri pengertian padanya agar mau main bergantian,” saran Muhammad Rizal, Psi. dari Lembaga Psikologi Terapan UI.

Lakukan pengecekan dengan meminta keterangan dari si penyerang mengenai aksinya. Jika karena ia tidak bisa mengontrol emosinya atau “salah”, beri penjelasan. Contohnya, “Itu enggak baik, Sayang. Kamu minta izin dulu baik-baik sama Ica. Ica juga mau kok gantian.”

Jangan lupa untuk memberi masukan kepada korban agar lebih baik menghindar jika sampai diserang siapa pun. Jika kejadiannya berlangsung di “sekolah”, minta dia melapor pada gurunya dan tentu ibu atau bapaknya jika sudah berada di rumah. Yang jelas, jangan pernah meminta anak untuk menyerang kembali sebagai aksi balasannya. Dengan tidak mengarahkan anak untuk melakukan aksi balas menyerang, tandas Rizal, “Sebagai orangtua berarti kita tengah melatih anak untuk mampu mengontrol diri, mengendalikan emosi, dan tidak menghalalkan kekerasan untuk mencapai sebuah solusi. Selain itu, anak bisa belajar menerima kenyataan bahwa mengalah dengan tidak membalas bukan berarti pengecut; tak memiliki keberanian ataupun tak mampu membela diri.”

Orangtua juga tidak perlu takut anaknya kelak tidak punya keberanian untuk melawan perlakuan yang tidak enak. Seiring dengan pertambahan usia dan perkembangan jiwa serta mentalnya, tanpa perlu diajari pun anak akan mampu melakukan perlawanan dengan sendirinya. Kalaupun saat ini ia tidak diajarkan untuk membalas, pertimbangannya lebih karena kematangan usia dan perkembangannya belum siap menerima hal tersebut.

Jika orangtua mengajari si batitanya untuk balas menyerang, efeknya bisa sangat menakutkan. Tidak menutup kemungkinan si batita akan tumbuh menjadi anak yang agresif dan tidak bisa mengontrol emosi. Selain itu ia akan menganggap bahwa melawan atau balas menyerang merupakan satu-satunya cara terbaik untuk membela diri dan bertahan. Sangat mungkin pula anak berkembang menjadi penyerang. Misalnya, kesenggol sedikit saja langsung main tangan karena senggolan tersebut dianggapnya sebuah serangan.

DISERANG DI SEKOLAH

Lalu bagaimana jika batita kita diserang oleh anak lain di “sekolah”? Langkah-langkah penyelesaiannya sama seperti di atas. Namun, jika dirasa sangat mengganggu, mintalah wali kelas untuk menyampaikan masalah perilaku agresif si teman kepada orangtuanya. Tak perlu ngotot membela si buah hati. Yang perlu diutamakan adalah kebaikan bersama dan himbauan untuk menerapkan pola pendidikan yang lebih baik lagi di rumah.

Kalaupun orangtua si penyerang menganggap kejadian tersebut sebagai hal biasa, emosi kita jangan langsung tersulut. Serahkan penanganannya pada pihak sekolah. Rizal menyarankan, lebih baik menempa batita kita semakin waspada. “Nak, kamu enggak usah dekat-dekat dia dulu deh. Main aja dengan teman yang lain,” misalnya.

Batita JUGA BISA “MENYERANG”

Kemampuan anak batita dalam bereaksi, khususnya melakukan gerakan refleks, belum terbentuk sempurna. Ia juga belum bisa memperkirakan seintensif apa reaksi yang dilakukan atau akan dilakukannya. Tak heran kalau memukul, kendati hanya main-main, terasanya bagaikan sungguhan dan sepenuh tenaga. Bertolak dari latar belakang perkembangan inilah, banyak orangtua merasa harus menghadapi konflik yang tak ada habis-habisnya akibat ulah si batita. Dari tak mau mengalah, main rebut, serakah, “merusak” mainan atau apa saja sampai melakukan “penyerangan” dengan gerakan asal dorong dan pukul.

Saat melihat kejadian tersebut, kacamata orang dewasa akan menganggap itu sebagai penyerangan/tindak kekerasan. Akan tetapi bagi anak batita, apalagi batita awal yakni anak usia 1 tahunan, hal yang sama tidak bisa dikategorikan sebagai penyerangan. Sangat mungkin yang dilakukannya hanyalah dengan maksud menghela sang teman supaya tidak mengambil mainan yang diinginkannya. “Tapi karena sistem kontrol dalam dirinya belum sempurna, helaan tersebut tampak sebagai upaya penyerangan.”

Bisa jadi pula “serangan” tersebut sifatnya main-main, sekadar ajakan pada temannya untuk main berantem-beranteman. Sekali lagi, karena kontrol dirinya belum baik, ajakan tersebut membuat sakit temannya dan karena sakit si teman kemudian menangis. Buntut-buntutnya, orang dewasa yang melihat kejadian tersebut sering kali mengasumsikannya sebagai sebuah serangan.

Memang sih ada kejadian-kejadian serupa yang termasuk kategori serangan, di antaranya mendorong, menarik, mencakar dan memukul. Tapi ini pun tidak murni sepenuhnya sebuah serangan seperti halnya yang dilakukan anak lebih besar. Selain karena ketidakmampuannya mengontrol diri, emosi dan kekuatan gerak, batita melakukannya lantaran keegosentrisannya.

Itulah mengapa, orangtua amat dituntut untuk menunjukkan sikap bijak kala batitanya diserang ataupun menyerang teman. “Jangan main hakim sendiri dengan menuduh si pelaku melakukan serangan atau abuse,” kata Rizal. Jadi, jangan pernah langsung mendamprat si pelaku!