Saat anak memasuki usia satu tahun ada kebahagiaan tersendiri yang dirasakan orang tua sebagai anugerah. Tak heran kalau ulang tahun pertama umumnya dirayakan secara meriah dengan penuh rasa syukur karena si kecil sudah melewati masa bayinya. Bersamaan dengan itu, kemampuan jelajah si kecil juga sudah meluas. Ia kini sudah bisa bergerak dengan merangkak atau berjalan ke mana pun dia mau. Padahal berdiri saja belum tegak benar dan kalau melangkah masih terlihat oleng.
Toh, meski sudah bolak-balik jatuh, si batita tetap saja ngotot melangkahkan kakinya untuk berjalan atau berlari tanpa mengenal takut. Sebaliknya, orang tua begitu khawatir buah hatinya akan terantuk atau terjatuh. Lalu dengan alasan melindungi, orang tua akan membatasi eksplorasinya. Pertanyaannya, apakah perlakuan orang tua yang seperti itu sudah tepat?
JATUH-BANGUN PERKAYA MEMORI

Agaknya perlu disimak pendapat psikolog dari RSAB Harapan Kita, Dra. M Louise M.M. Psi. Ia menegaskan, kegagalan atau jatuh-bangun dalam proses belajar merupakan hal yang biasa. Dulu selagi kita belajar naik sepeda, contohnya, siapa sih yang tidak terluka karena jatuh? Begitu juga saat kita tengah belajar berjalan. Coba saja tanyakan ke orang tua kita berapa puluh kali dulu kita jatuh bangun saat itu. Jadi benar kata pepatah, Kalau ingin berhasil ya harus berani gagal dulu.

Bukankah ketika anak terjatuh, ia akan merasa makin tertantang dan berintrospeksi. Oh ternyata sakit dan enggak enak ya kalau jatuh. Momen inilah yang bisa dijadikan anak untuk berintrospeksi, tentunya setelah diarahkan orang tua. Cantohnya, Oh, kata mama aku jatuh karena terpeleset di lantai yang licin. Mama bilang kalau jalan aku harus hati-hati.

Dari pengalaman semacam itu anak akan belajar, Aku enggak mau lagi jatuh. Soalnya, jatuh itu sakit. Begitu ia mendapat pengalaman dan belajar darinya, saat menghadapi jalan licin, memori mengenai pengalaman tak enak tadi akan muncul sebagai data, Jalan ini licin. Aku harus pegangan dan hati-hati supaya enggak jatuh lagi. Nah, refleks semacam ini jika muncul terus-menerus akan terakumulasi sebagai suatu bentuk keterampilan yang membuat anak siaga.

Tentu saja bukan berarti setelah itu anak langsung lancar jalannya. Setiap kali menghadapi rintangan atau situasi baru yang datanya belum terekam, bukan tidak mungkin ia jatuh lagi. Terutama kalau ia belum mampu mengerem kecepatan langkahnya atau berbalik arah secara mulus.

Kemungkinan lain, anak terjatuh karena tak mampu menahan keseimbangan tubuhnya saat melangkah di atas permukaan yang tidak rata. Itulah sebabnya, tandas Lusi, Makin kaya pengalaman yang didapat, kian banyak proses pembelajaran dan data yang diperoleh anak sebagai bekalnya untuk bisa berjalan normal seperti orang dewasa.

Ia menambahkan, data yang akan memperkaya memori anak bisa diberikan orang tua dalam bentuk trik yang dipraktekkan, jadi bukan hanya lewat pengalaman terjatuh. Caranya, sering-seringlah mengajak batita belajar berjalan. Namun ketika melewati jalan yang berpeluang menyebabkan anak jatuh, orang tua sebaiknya langsung memberikan masukan. Misalnya, Hati-hati ya Sayang, jalannya menanjak nih. Kamu mesti jalan pelan-pelan sambil pegangan.
Begitu juga saat anak melakukan gerakan berjalan yang membuatnya tidak seimbang. Sambil menuntun anak, orang tua bisa memberikan contoh, Lihat Ayah deh. Begini nih, kalau berjalan, pandangan lurus ke depan. Hanya saja trik seperti ini lebih sering menemui jalan buntu karena pola pikir anak masih konkret. Dengan kata lain, masukan data akan lebih cepat terekam apabila ia mendapat pengalaman langsung.

JANGAN PELIT REWARD

Saat bisa melakukan sesuatu yang baru, anak juga perlu tanggapan dari orang tuanya. Lusi menyarankan, tanggapan ini sebaiknya diberikan dalam bentuk reward saat itu juga. Cukup dengan kalimat sederhana seperti, Hore anak Ayah sekarang sudah bisa jalan sendiri. Tujuannya agar anak merasa usahanya dihargai dan diperhatikan oleh orang tuanya. Selain itu, ia jadi tahu bahwa apa yang dilakukannya sungguh menyenangkan hati ayah ibunya.
Begitu pula saat anak terjatuh, orang tua tetap perlu memberi tanggapan positif. Caranya? Lusi mengingatkan agar orang tua tidak bersikap panik. Segala ekspresi kepanikan bisa terbaca oleh anak lewat kata-kata maupun mimik wajah ayah dan ibu. Kalau orang tuanya saja panik, jangan salahkan anak bila ikut-ikutan panik yang akhirnya berkembang jadi ketakutan.

Pun, karena keterbatasan pengetahuannya, kepanikan orang tua akan ditangkap anak sebagai bentuk kemarahan yang mengurungkan keberaniannya mencoba dan mencoba lagi di lain waktu. Padahal tanpa berani mencoba, bagimana mungkin anak akan bisa?

Nah, ketimbang panik yang akan berdampak merugikan, mengapa orang tua tidak mencoba bersikap tenang? Kala anak kesakitan karena terjatuh, sentuhlah dengan perhatian dan kasih sayang. Contohnya sederhana saja kok, Mana yang sakit, Nak? Sini Ibu lihat. Nah, sekarang kita bersihkan lalu kita kasih obat luka ya supaya cepat sembuh.

Akan lebih kena bila sambil berkata demikian, ayah atau ibu memeluk dan mengusap-usap bagian tubuhnya yang sakit. Lalu setelah anak tenang, ajak dia belajar berjalan lagi. Beri petunjuk bagaimana caranya agar tidak jatuh. Jika ini yang dilakukan, anak akan termotivasi untuk terus mengulang dan mencoba sampai akhirnya bisa berjalan lancar.

AGAR TAK PUTUS ASA

Anak usia batita pada dasarnya tak kenal takut atau tak gampang jera. Namun, kalau dalam kenyataannya ada anak yang terkesan takut mengambil risiko jatuh, kata Lusi, itu lebih karena dipengaruhi lingkungan. Orang tua yang terlalu melindungi atau gampang panik, misalnya, dapat membuat anak takut berjalan yang akhirnya menutup kesempatan dirinya melatih kemampuan. Akibatnya, di kemudian hari anak bahkan kurang memiliki keterampilan menghadapi tantangan.

Jadi, khawatir sih boleh-boleh saja asalkan tidak berlebihan. Perkecil kemungkinan kita berseru, Awas jatuh! atau Awas terpeleset! dengan melakukan beberapa antisipasi, seperti menyeka lantai yang basah sampai kering dan menyingkirkan semua furnitur yang berpeluang membahayakan atau menghambat gerak anak. Tentu saja sambil tak lupa untuk terus mendampingi dan mengawasinya secara wajar.

Tips & Trik STIMULASI BERJALAN

* Di usia 9-11 bulan saat anak sudah bisa berdiri sendiri, perhatikan dengan seksama apakah berdirinya sudah tegak dan seberapa lama ia mampu bertahan. Jika belum, jangan bosan melatihnya kembali sampai anak bisa berdiri tegap untuk waktu cukup lama. Caranya, letakkan mainan kesukaan anak di atas kepalanya agar ia tertantang untuk mencoba menggapai-gapai mainan tersebut.

* Jika sudah bisa berdiri sendiri tanpa berpegangan, amati apakah masih tidak seimbang dan berapa lama ia bisa bertahan. Jika sudah bisa berdiri tegap, itu berarti anak sudah siap mendapat stimulasi berjalan. Perhatikan apakah posisi jari kaki anak menekuk atau tidak. Jika menekuk, itu tandanya dia masih perlu stimulasi supaya berani dan terbiasa menahan berat badannya dengan bertumpu pada kedua kakinya.

* Sedangkan bila tidak, orang tua wajib mengajaknya mau ditatih. Caranya, biarkan kedua tangannya memegangi kedua tangan kita lalu ajaklah ia melangkahkan kakinya. Bila dirasa sulit, posisikan kedua telapak kakinya di atas punggung kaki kita. Sambil tangan kita tetap memegangi kedua tangannya, ajaklah ia melangkah. Agar suasananya menyenangkan dendangkan lagu saat kita melangkahkan kaki.

* Begitu anak bisa berjalan merambat, umumnya anak tahu bagaimana caranya menggerakkan kakinya ke depan dan ke samping. Nah, inilah momen paling tepat untuk mengajaknya mau ditatih. Berikan kesan bahwa bisa berjalan itu menyenangkan.

* Begitu langkah anak sudah teratur, beranikan diri untuk hanya memberikan jari telunjuk tangan kanan dan kiri kita untuk dipegangi anak selagi ia ditatih. Biarkan anak melangkahkan kakinya. Orang tua tinggal mengikutinya saja dan wajib mengerem atau mengalihkan arah jika anak menuju ke tempat yang dianggap mengundang bahaya.

* Bila dengan cara di atas terlihat sudah lancar, orang tua sebaiknya memposisikan diri di samping anak. Kalau di sisi kanan, berarti telunjuk kiri kita yang dipegangi anak. Begitu juga sebaliknya.

* Selanjutnya, bila ia terlihat tak lagi mengalami kesulitan, saatnyalah menstimulasinya agar mau berjalan sendiri tanpa merambat atau kita pegangi. Caranya, tempatkan anak di posisi yang sekiranya tidak memungkinkan dia bisa berpegangan. Kemudian berilah dia stimulus yang bisa memancingnya untuk bergerak dengan cara melangkah menuju arah stimulus tersebut. Bentuk pancingan ini macam-macam, bisa mainan bisa pula makanan kesukaannya. Tentu saja latihan ini tidak bisa dilakukan sekali dua kali, melainkan harus terus-menerus setiap hari.

* Jangan ragu untuk sering melepas anak sendiri. Kelewat sering digendong otot-otot dan saraf tubuhnya tidak terlatih.