Bunda, sekedar copast dari sebuah artikel, semoga mengingatkan kita sebagai seorang bunda yang juga sibuk bekerja....:)

Jakarta - Rudi punya kebiasaan buruk, setiap pulang kerja ia selalu melimpahkan kekesalan kepada istri dan anak-anak di rumah. “Saya masih tolerir kalau marah hanya ke saya. Tetapi anak-anak yang tidak tahu apa-apa sering bingung melihat papanya marah sepulang kerja,” kata Asti, istri Rudi.

Rudi yang bekerja sebagai kepala akuntansi di sebuah perusahaan humas berdalih kemarahannya disebabkan oleh rasa lelah dari kantor bertambah setelah terpancing emosi dengan tingkah laku anak-anak dan istrinya. “Baru sampai rumah sudah disambut laporan nilai ujian anak-anak yang jelek, tagihan listrik membengkak, kerusakan ledeng, soal telepon dan sebagainya. Padahal seharian stres membaca laporan keuangan kantor,” kata Rudi.

Dianti mempunyai masalah serupa dengan Rudi. Perempuan berusia 37 tahun yang bekerja di agensi periklanan ini mengatakan, tiap kali pulang ke rumah dan bertemu suaminya, ia disambut omelan tak enak didengar. “Suami komplain rumah belum bersih benar sebelum saya tinggal kerja. Seharusnya, dia mengerti kami sama-sama bekerja,” ujarnya.

Seharian beraktivitas di luar rumah memang membuat badan letih dan pikiran stres. Tanpa disadari, ini cenderung membuat seseorang kesulitan untuk menciptakan waktu berkualitas dengan keluarga.

Sebuah riset terbaru yang dilakukan Lisa Neff, Ph. D memaparkan bahwa orang yang lelah setelah beraktivitas cenderung mengalami bad mood dan menjadi tidak ramah ketika tiba di rumah. Dalam penelitian yang dilakukan asisten profesor pada departemen pengembangan manusia dan ilmu keluarga di Universitas Texas di Austin ini, ia menemukan tuntutan pekerjaan seseorang, belum lagi menahan rasa lapar, dan rasa tertekan akan kesibukan esok hari telah memicu emosi yang lalu ditumpahkan ke orang rumah.

"Sering disebut sebagai adult tantrum atau kondisi saat orang dewasa merasa kesal dan jengkel karena tertekan. Biasanya membawa stres kantor ke rumah," ujar mediator pasangan dan penulis buku Fight Less, Love More, Laurie Puhn, J.D. Kondisi ini terjadi karena salah satu pihak sudah seharian menahan diri dan emosi sehingga ketika sampai di rumah, ia cenderung meluapkan kekesalannya kepada pasangan mereka.

Konsultan sumber daya manusia, Dewi P. Faeni, mengatakan seseorang kerap kesulitan menangani beban psikologis pekerjaan karena manusia merupakan makhluk yang unik dengan segala permasalahan psikososialnya. Permasalahan psikosial yang mungkin timbul dari berbagai variabel pemicu, misalnya putus cinta, perceraian, beban hidup, dan kesulitan finansial, akan membuat seseorang sulit mengatasi beban kerjanya karena otak seseorang yang fatigue (lelah).

Ketika tak sanggup menanggung beban pekerjaan itu, kata Dewi, sikap fatalistik bisa timbul. “Saat marah, ia mudah melakukan hal-hal destruktif,” ujarnya. Permasalahan di tempat kerja, bila tak terselesaikan, akan menimbulkan stres tingkat tinggi dan berdampak terhadap kehidupan sehari-hari di rumah tangga.

Agar tak selalu membawa masalah ke rumah, Dewi menyarankan selalu menerapkan konsep ON and OFF, yakni metode mirip menyalakan dan mematikan lampu. Seseorang sebaiknya menerapkan sistem NIP atau Nothing In Personal dalam konsep berpikir. Misalnya bila ia ditegur kasar oleh atasan, ia harus membekali diri dengan sikap positif. “Begitu pula, saat masuk gerbang rumah, ia akan secara otomatis meninggalkan pikiran mengenai pekerjaannya dan mengalihkannya pada pengembangan diri, bukan yang lain,” katanya.

Ia memberikan cara mudah untuk mengatasi kelelahan dan stres itu. Di antaranya, mampu melakukan manajemen stres ringan, menerapkan hidup yang seimbang, memiliki hobi yang bisa melupakan beban pekerjaan, menciptakan lingkungan keluarga yang hangat, memacu hormon beta endorfin melalui olahraga, memiliki sahabat yang bisa menampung curahan hati, piknik dengan keluarga, dan merasa jatuh cinta lagi dengan pasangannya.

Dewi mengatakan, perempuan cenderung rentan terhadap stres. Tapi, “ia juga memiliki ketahanan stres lebih lama.” Sebaliknya, pria tidak rentan terhadap stres, tapi sekali mengalami masalah, mentalnya langsung drop.

Sumber: Tempo