Sebagian besar orang tua, pasti pernah berteriak kepada anak-anaknya. Tetapi, tidak semua orangtua mau mengakui.
Pasalnya, jauh di dalam hati, mereka tahu dan sadar bahwa marah dengan cara berteriak kepada anaknya justru tidak efektif.

Semakin orangtua berteriak, anak malah semakin bertingkah atau seperti tidak mendengarkan (ndableg, dalam bahasa jawanya) Mari kita mulai untuk berhenti berteriak pada anak.



“Kakaak,….sudah dong, jangan jalan2 teruuss. Ayo, habiskan makannya!!”, atau “ Adeek.., berapa kali ibu bilang?! Jangan buka-tutup pintu lemari! Nanti jarinya kejepit lagii….!”. Penahkah anda berteriak seperti ini?

Bercermin diri
Menurut pakar, berteriak kepada anak sebenarnya lebih menunjukkan “diri” orangtua daripada perilaku anak. Tanpa disadari, orangtua “memindahkan” permasalahan pribadinya-mungkin masalah di kantor, masalah finansial atau sedang bertengkar dengan pasangan- kepada anak. Oleh sebab itu, sebelum berteriak atau begitu merasakan mau “tegangan tinggi”, tanya lah diri sendiri: Apakah saya marah murni karena kelakuan dia, bukan karena saya sedang ada masalah lain? Apakah saya menganggap dia sudah keterlaluan nakal?. Pendeknya, cobalah untuk mengidentifikasi dan memahami rasa frustasi anda sendiri.

Sesuaikan ekspektasi terhadap anak
Anak-anak memang seakan memiliki keahlian untuk membuat orangtua “darah tinggi”. Mungkin memang perilaku tidak baik anak lah yang mendorong anda marah dan berteriak. Orangtua sebaiknya bersikap realistis terhadap anak-anaknya. Maksudnya, jangan menaruh harapan yang terlalu muluk terhadap anak. Cobalah untuk mempelajari dan memahami anak sebaik-baiknya kemampuan anda. Lalu, pada saat-saat tenang cobalah memikirkan “strategi” yang tepat untuk menghadapi si kecil.

Teriak-teriak ada konsekuensinya lho..!!
Terlalu banyak berteriak akan berdampak buruk, baik bagi anak maupun orangtua sendiri. Psikiater Lyndon Waugh, M.D., mengatakan bahwa berteriak dan membentak akan menimbulkan ketakutan dalam diri anak-anak dan mengurangi kepercayaan diri mereka. Ditambah lagi, anak-anak akan merasa kurang aman berdekatan dengan anda. Salah-salah, anak bisa tumbuh menjadi anak yang mudah tersinggung, judes, defensif, suka berbohong atau menyalahkan anak lain untuk menutupi kesalahannya, semata-mata karena menghindari diteriaki/dibentak. Sedangkan bagi orangtua sendiri, berteriak malah membuat mereka semakin frustasi dan lelah. Jujur saja, setelah berteriak-teriak marah kepada anak, orangtua pasti merasa bersalah. Lalu, tanpa sadar anda mengkompensasinya dengan kasih sayang berlebih atau perlakuan ekstra. Jadi agak-agak dramatis, gitu...! Akibatnya, anak malah jadi semakin bingung.

Tenang...., Bu, Pak,tenang.....
Walaupun orangtua telah sekuat tenaga berusaha untuk tidak berteriak-teriak marah, tetapi tetap saja ada saat-saat dimana anda merasa lepas kontrol diri dan mau “meledak”. Nah, kalau anda rasakan tegangan mulai tinggi, cobalah menerapkan sistem time-out terhadap diri sendiri. Tarik diri sejenak dari anak anda. Kalau anak anda terlalu kecil untuk ditinggal, ya menjauh ke sisi lain dari ruangan saja. Tarik nafas dalam-dalam, kalau perlu pelan-pelan hitung 1 sampai 10. Setelah anda “mendingin”, ajak bicara anak dan utarakan apa yang menyebabkan anda merasa kecewa terhadapnya