M asih banyak obat flu dan batuk untuk balita yang mengandung PPA beredar di pasaran, termasuk yang diresepkan oleh dokter.

Kandungan PPA tak boleh dianggap remeh, lo. Terlebih buat bayi dan balita, karena bisa membawa pada kematian. "Sebulan lalu saya mendapat laporan, ada bayi umur beberapa bulan, anak orang asing, mengalami perdarahan otak setelah diberi obat tetes yang mengandung PPA sangat tinggi, lalu meninggal. Laporan itu menyebutkan, hanya obat itu satu-satunya yang diminum oleh si bayi," tutur Prof. Iwan Darmansjah, M.D. dari bagian Farmakologi, FKUI/RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

Jadi, tegas Iwan, meski pemerintah lewat BPOM (Badan Pengawasan Obat dan Makanan) telah menarik obat-obatan flu dan batuk yang mengandung PPA di atas 15 mg, tapi pada kenyataannya masih banyak beredar di pasaran, khususnya untuk balita, baik yang diresepkan dokter maupun obat bebas. Hal senada dikemukakan pula oleh dr. H. Adi Tagor, Sp.A, DPH, spesialis anak dari RS Pondok Indah, Jakarta, yang dihubungi dalam kesempatan berbeda. "Sekalipun ada yang sudah ditarik dari pasaran, akan tetapi masih belum seluruhnya. Sebab, nyatanya masih ada obat untuk balita yang dipasarkan dan beredar bebas yang mengandung PPA. Saya tak tahu, apakah BPOM menarik secara bertahap atau sama sekali lolos dari pantauan mereka."

MENYEMPITKAN PEMBULUH DARAH

Sebenarnya, tutur Iwan, sejak 20 tahun yang lalu masalah bahayanya PPA sudah dipersoalkan oleh seluruh dunia, tapi tak ada yang menggubris. Sampai ada studi dari Amerika menemukan bahwa timbul perdarahan di otak karena meminum obat yang mengandung PPA. Itulah mengapa, beberapa negara di dunia ada yang sama sekali melarang pemakaian obat yang mengandung PPA, misal, di Malaysia dan Singapura. Sementara di Australia, PPA yang dibolehkan terdapat dalam obat yang beredar di masyarakat hanya 25 mg dibarengi pencantuman peringatan di kemasannya mengenai dampak obat tersebut. Sedangkan di Indonesia, obat yang mengandung PPA dibolehkan beredar dengan kadar tak lebih dari 15 mg.

PPA atau phenylpropanolamine (ada pula yang menyebutnya FPA atau fenilpropanolamin) merupakan suatu zat aktif yang terdapat dalam obat flu atau batuk yang berfungsi sebagai dekongestan untuk mengatasi hidung mampet. Efek samping dari konsumsi obat yang mengandung PPA, baik untuk orang dewasa dan anak, sama saja, yaitu mulut jadi kering, jantung berdebar-debar, dan lendir mengering. "Jadi, perlu diwaspadai orang tua jika setelah mengkonsumsi obat yang mengandung PPA, anaknya susah tidur atau gelisah terus," bilang Adi.

Namun efek yang paling berat, bisa menyempitkan pembuluh hingga mengakibatkan tekanan darah naik. "Awalnya akan merasa berdebar-debar. Jika memang sedang terdapat hal-hal yang kurang baik pada pembuluh darah si anak, maka bisa menyebabkan pembuluh darahnya pecah. Kalau sudah pecah biasanya tak bisa tertolong lagi." Terlebih bila si anak menderita cacat jantung bawaan, bisa mengakibatkan biru karena jantungnya bocor. Pun akan sangat bahaya pada anak yang punya pembawaan darah tinggi atau aneurysma (pembuluh darahnya tipis sejak lahir). "Jika aneurysma ini ada di otak anak dan sampai pecah, akan mengakibatkan kematian. Lain hal kalau tak terjadi di otak."

Tentu saja untuk mengetahui apakah anak kita menderita aneurysma atau tidak harus melalui CT Scan. "Yang perlu diwaspadai orang tua, kalau menemukan atau melihat anak sering mengeluhkan sakit kepala berulang, perlu diperiksakan ke dokter atau di-scan, bisa jadi itu pertanda anak menderita aneurysma dan harus segera mendapatkan tindakan operasi. Kalau tidak, bisa-bisa akan pecah sendiri, sekalipun bukan oleh PPA," terang Adi.

RADANG PARU-PARU

Bukan itu saja, tambah Adi, jika anak tiap kali flu atau batuk diberi obat yang mengandung PPA, maka dalam kurun waktu kurang dari 6 bulan akan terkena radang paru-paru, walau masih ringan. "Jika lebih dari 6 bulan, radang paru-parunya bisa saja parah."

Memang, aku Adi, tiap anak yang diberi obat mengandung PPA tinggi, flu dan batuknya akan cepat sembuh dan lendir jadi tak keluar, hingga obat ini dikenal cespleng dalam mengobati hidung mampet. "Namun sebetulnya keadaan ini takkan bertahan lama, seminggu atau dua minggu kemudian pasti akan kambuh lagi. Bagaimanapun, pipa saluran nafas anak masih kecil dan daya dorong dadanya belum sekuat orang dewasa dalam mengeluarkan lendir, maka lendir akibat virus flu susah untuk keluar." Itulah mengapa, anak yang flu atau batuk disarankan untuk mengeluarkan lendir-lendirnya.

Nah, dengan diberi PPA, lendir-lendir yang harusnya dikeluarkan itu justru jadi ditekan dan dikeringkan, hingga lama-kelamaan menumpuk di paru-paru. Hal ini menyebabkan kuman dan nanah bersemayam di paru-paru, yang akhirnya menyebabkan radang paru-paru atau lendir itu menempel di pipa nafas yang akan mempersempit pipa nafas anak. Selain itu, bulu-bulu halus di pipa saluran nafas yang bertugas mendorong lendir keluar, karena terkena PPA, ia akan tersemen dan lama-kelamaan akan rusak.

SALAH DOKTER

Sayangnya, terang Adi pula, tak sedikit dokter, dengan berbagai tujuan, suka memberikan PPA pada anak balita bahkan bayi. "Malah ada juga yang meresepkan obat flu atau batuk untuk anak yang PPA-nya diambil dari obat untuk orang dewasa. Sudah jelas itu sangat merugikan pasien." Sebab, sekalipun PPA yang diberikan itu sedikit, jika terjadi terus-menerus akan berdampak radang paru-paru dan penyempitan pipa saluran nafas.

Tapi itu pun tak melulu salah dokter, kok, tambah Adi, karena tak sedikit pula orang tua yang malah minta diresepkan obat mengandung PPA lantaran cespleng-nya. "Sebenarnya, sih, dokter harus menjelaskan kepada pasien dampak atau akibat yang timbul dari obat yang mengandung PPA, hingga tak ada lagi orang tua yang minta anaknya diberi obat mengandung PPA," tuturnya.

Menurut Adi, anak balita atau bayi yang terkena flu atau batuk, sebenarnya tak perlu diberi obat macam-macam. "Dengan banyak makan makanan bergizi, minum air bening yang banyak dan sari buah, mengkonsumsi vitamin yang cukup, dan beristirahat yang cukup, maka penyakit tersebut akan sembuh sendiri tanpa menimbulkan efek samping atau dampak apa-apa." Jikapun mau diberi obat, bukan PPA, "Jangan sekali-kali tubuh anak dimasuki PPA, sekalipun direkomendasikan oleh dokter!" tegas Adi. Tapi berilah obat yang mengencerkan lendir atau bisa juga dengan cara difisioterapi (diuap). Kalau ada kuman, baru dibunuh kumannya; kalau ada alergi, diberi obat anti alergi.

Sementara Iwan menganjurkan orang tua agar tak hanya menerima resep, tapi juga memperhatikan dosisnya. "Dosis kandungan PPA pada obat tetes itu cukup tinggi, lo. Masak untuk anak-anak dosisnya 20 mg, sementara untuk orang dewasa saja maksimal 15 mg. Kan, enggak benar itu. Bayangkan saja, jika untuk anak usia 1­3 tahun dosisnya 2 tetes, maka jika per ml mengandung 20 mg PPA, berarti 1 tetes sama dengan 1 ml gr. Padahal anak diberi 2 tetes, wah, terlalu tinggi. Hal ini perlu mendapat pengaturan baru oleh BPOM." Dosis yang ideal buat anak, lanjutnya, sampai sekarang belum diketahui. "Saya sendiri masih melakukan penelitian untuk menentukan dosis yang tepat buat anak dan bayi."


Harus Diuji Dulu

Ditemui pada kesempatan berbeda, Dra. M. Linda Sitanggang, Ph.D, pelaksana tugas Direktur Penelitian Obat dan Produk Biologi (PLTU) BPOM, Depkes, membantah keberadaan obat untuk balita yang mengandung PPA. "Tak ada satu pun obat-obat flu yang mengandung PPA tinggi diperuntukan bagi anak balita!" tegasnya, "Jangankan untuk balita, untuk anak usia 6 tahun ke atas pun hanya boleh mengandung PPA setengah dari dosis orang dewasa."

Namun, setelah diberitahukan bahwa obat-obatan dengan PPA tinggi untuk balita memang ada dan masih beredar di pasaran, Linda pun terhenyak, "O, begitu. Saya akan cek lagi." Lantas, ia mengatakan, yang diumumkan kepada masyarakat hanyalah obat-obatan untuk usia 6 tahun ke atas. "Ada juga obat untuk anak balita yang mengandung PPA, akan tetapi harus melalui rekomendasi dokter atau dalam pengawasan dokter."

Masih menurut Linda, obat yang dilempar ke pasaran harus diuji dulu di laboratorium BPOM. "Jika ada produsen obat yang nakal dengan memberikan PPA pada obat-obatan yang diperuntukan bagi balita, bisa dipastikan tak akan dapat beredar di pasaran, malah produsennya akan mendapatkan sanksi dan hukuman dari pemerintah," terangnya.

Kecuali jika obat-obatan itu berdasarkan resep dokter, "bisa saja si anak balita mendapatkan obat yang mengandung PPA." Jadi, lanjutnya, obat untuk anak balita yang mengandung PPA harus melalui rekomendasi atau pengawasan dokter. "Berarti, obat itu masuk dalam kategori bukan pengobatan standar karena untuk pengobatan standar flu dan batuk bagi anak-anak adalah paracetamol."

Jikapun obat dengan kandungan PPA bisa dibeli secara bebas tanpa menggunakan resep dokter, terangnya, pasti pada kemasan atau labelnya akan menggunakan Public Warning, seperti, "Jika sakit berlanjut, hubungi dokter." Atau, "Awas, obat keras! Bacalah aturan memakainya." Soalnya, obat yang mengandung PPA tak dianjurkan untuk pengobatan yang terlalu lama.

Jadi, kata Linda lagi, obat-obatan flu dan batuk yang beredar sekarang, sekalipun ada yang mengandung PPA, itu berarti telah diijinkan oleh BPOM. Walaupun untuk bayi dan balita harus diperhatikan dosis, aturan pakai, komposisi, dan jika berlanjut harus segera menghubungi dokter.

Linda pun menjelaskan, efek samping PPA tak menyerang semua orang. "Efek samping hanya terjadi pada orang yang rentan atau yang kebetulan pembuluh darahnya rapuh, hingga bisa pecah. Itu sebab, perlu dilihat kandungan dan dosisnya yang harus dibatasi. Berdasarkan penelitian FKUI, obat yang mengandung PPA 15 mg itu sudah sangat efektif dalam mengatasi penyumbatan saluran hidung akibat flu."

Waspadai Pula Etilefrin

Selain PPA, obat-obatan yang mengandung etilefrin pun harus diwaspadai karena berefek sama. "Etilefrin pun tak sekadar menyembuhkan pilek, tapi juga menyempitkan pembuluh darah, hingga tekanan darah naik hebat dan menimbulkan masalah pada pemakainya," jelas Iwan.

Yang paling baik untuk anak, menurutnya, efedrin. "Sayangnya, industri obat di Indonesia cenderung tak menggunakannya, meskipun efektivitasnya lebih unggul. Kemungkinan karena margin keuntungannya lebih rendah," tuturnya pula.