1. Cincin Ajaib

Seorang bapak tua yang memiliki 3 orang putra sedang bingung. Ia merasa memiliki sebuah cincin ajaib yang dianggapnya bertuah karena sejak digunakan selalu membawa keberuntungan dan kesuksesan bagi dirinya.

Cincin ajaib itu rencananya ingin diwariskan kepada salah satu anaknya, tetapi ia khawatir anak yang lain akan merasa iri. Sebagai solusi, ia pergi ke tukang cincin dan membuat 2 cincin yang sama seperti cincin ajaib miliknya. Keesokan harinya, ia memanggil ketiga putranya lalu berkata, “anak-anakku cincin ini sama baiknya, siapa yang memakainya maka dia akan beruntung”.

Tak lama berselang, sang bapak tua itu meninggal dunia. Seiring berjalannya waktu, ketiga putranya tahu bahwa hanya satu cincin yang asli. Mereka lalu pergi ke seorang hakim yang bijaksana untuk mencari tahu mana cincin yang asli dan meminta jalan keluar dan pembuktian.

Setelah merenung dan berpikir, hakim bijaksana itu berkata “aku tidak dapat menolong kalian, tetapi aku tahu sebuah cara untuk memastikan cincin yang asli. Pakailah cincin kalian masing-masing. Kalian yang harus membuktikan bahwa cincin kalian asli, yaitu dengan bertindak dan bekerja dengan baik sehingga kalian menjadi orang yang beruntung”.

Ketiganya bertekad untuk membuktikan cincin mereka yang asli dan bertuah. Mereka berusaha membuktikan pada diri sendiri bahwa keberhasilan dan keberuntungan mereka adalah karena cincin ajaib asli pemberian ayah mereka.

Setelah beberapa tahun berlalu, sukses demi sukses mereka raih bersama. Akhirnya mereka pun sadar dan mengerti bahwa bukan cincin yang membuat mereka sukses, melainkan karena mereka sendiri.

Bukan sesuatu di luar diri kita yang membuat kita sukses atau beruntung. Bukan cincin kita, busana kita, atau apapun yang kita kenakan. Tetapi yang menentukan keberhasilan adalah keuletan, doa, bersyukur dan usaha diri kita sendiri.

2. Seorang anak laki-laki kecil tanpa sengaja merusakkan raket milik ayahnya. Karena takut, ia menyembunyikan raket itu di bawah tempat tidur dalam kamarnya.

Setiap kali ayahnya memasuki kamar, hatinya ketakutan. Ia sengaja duduk di atas tempat tidur, khawatir sang ayah mengangkat tempat tidur kemudian menemukan raket yang ia rusakkan. Karena itulah ia selalu berusaha memindahkan raket yang ia rusakkan ke tempat lain sesering mungkin, dengan harapan sang ayah tidak akan dapat menemukannya.

Sejauh ini semuanya selalu bisa diatasi dengan baik. Kesalahannya tetap tertutup rapat-rapat di depan ayahnya. Namun, selama itu pula hatinya tidak tenang. Setiap saat rasa bersalah muncul dan menghakiminya. Kemana pun ia pergi, hatinya selalu tertuju kepada raket sang ayah yang pernah ia rusakkan.

Semakin sering ia memindahkan raket yang ia rusakkan, ia semakin gelisah, karena itu berarti semakin sedikit tempat yang memungkinkan ia menyembunyikan raket rusak itu. Dalam ketertekanannya, akhirnya ia mengambil raket rusak itu, membawanya di tangan kanannya, kemudian mendatangi ayahnya dengan takut.

Setelah berada di depan ayahnya, ia pun berkata sambil menunjukkan raket rusaknya, “ayah, maafkan aku karena telah merusakkan raket ayah, aku siap untuk dihukum.”

Mendengar pengakuan anaknya, sang ayah membungkuk dan berkata, “nak, ayah sudah tahu semua itu dari minggu lalu, ayah hanya menunggu kamu mempunyai keberanian untuk mengakuinya. Sekarang ayah hendak berkata kepadamu bahwa ayah memaafkanmu.”

Kalimat terakhir dari sang ayah benar-benar membuat sang anak lega dan merasa bebas. Mengakui kesalahan adalah awal dari sebuah perbuatan besar, dan mempertanggungjawabkan kesalahan adalah langkah menuju kebahagiaan.