Perubahan sikap yang terjadi secara tiba-tiba patut dicurigai bahwa anak telah menjadi korban bully. Misalnya, anak menjadi pemurung, sebentar-sebentar mengeluh sakit, gelisah saat tidur, atau sering bermimpi buruk. Tanda lain adalah jika anak yang tadinya rajin ke sekolah menjadi ogah-ogahan dengan berbagai alasan tak jelas.

Mengajarkan anak untuk membalas perlakuan temannya, bukanlah penyelesaian masalah yang baik. Justru ajaran seperti ini malah bisa membentuk anak untuk menjadi pelaku bully berikutnya.

Menurut Pustika Rucita, B.A., M.Psi, psikolog klinis dari Personal Growth, cara terbaik adalah mencari mediator, misalnya pihak sekolah, untuk menemani Anda bertemu dengan pelaku bully sekaligus orangtuanya. Kehadiran mediator dapat membantu Anda dalam mencari solusi terbaik untuk semua pihak, dan mencegah Anda meluapkan emosi dengan cara yang berlebihan.

Tapi, jangan ragu untuk ikut bertindak apabila bullying yang dialami anak sudah masuk tahap yang membahayakan. Misal, anak mengalami kekerasan fisik yang menimbulkan bekas luka. Segera minta bantuan pihak sekolah (jika bullying terjadi di sekolah) untuk membantu kordinasi dan mediasi dengan pelaku bully dan orang tuanya. Jika memang diperlukan, Anda juga boleh melaporkan kasus bullying pada pihak yang berwajib.

Pustika menegaskan bahwa tak ada salahnya membawa korban bully berkonsultasi kepada psikolog, terutama jika Anda merasa kasus bullying membawa dampak negatif yang berkepanjangan, seperti mengalami masalah emosional dan perilaku, anak tak lagi merasa aman di sekolah, merasa terisolasi, rendah diri, stres, dan mengalami kemunduran dalam hal prestasi. Bantuan sedini mungkin juga dapat membantu anak untuk lebih cepat merasa positif dengan dirinya sendiri, dan tidak membuatnya larut dalam permasalahan yang sama.