Menjamurnya suplemen kalsium dan susu kalsium tentu perlu disikapi dengan bijaksana. Kelebihan asupan kalsium memang tidak berpengaruh banyak, kecuali bagi mereka yang berisiko batu kalsium. Konsumsi sehari-hari sampai 2.500 mg masih dianggap aman. Kalsium sisa yang tidak digunakan tubuh akan dikeluarkan melalui urine dan tinja.

Jika dari makanan sehari-hari asupan kalsium kurang, suplemen sangat membantu. Dari uji coba yang dilakukan, suplemen kalsium bisa ditoleransi tubuh dengan baik. Bahkan pengujian yang dilakukan terhadap 2.295 wanita hamil dengan dosis 2.000 mg tidak menimbulkan efek sampingan yang berarti.

Memang, beberapa orang mungkin akan mengalami kembung (bloating) atau sembelit ketika mulai minum suplemen. Kejadian ini memang tercatat dalam beberapa penelitian. Bagi mereka yang mengalami gejala seperti itu, mulailah dengan dosis rendah, lalu perlahan-lahan ditingkatkan sampai sesuai dengan asupan yang diperbolehkan.

Yang perlu diperhatikan, ada tiga jenis suplemen kalsium: kalsium karbonat, kalsium sitrat, dan kalsium fosfat. Nah, sebuah penelitian membandingkan ketiga kalsium itu dengan plasebo (materi bohongan). Tujuannya untuk melihat seberapa jauh pengaruhnya terhadap soal kembung. Ternyata kalsium sitrat menunjukkan level yang tinggi, sedangkan kalsium karbonat sama atau sebanding dengan plasebo.

Kalsium karbonat memang paling banyak digunakan dalam suplemen. Jenis ini paling baik diserap ketika dicerna bersama makanan. Berlawanan dengan itu, kalsium sitrat justru penyerapananya paling baik jika dicerna tanpa makanan.

Pada manusia normal, penyerapan dua jenis kalsium itu tidak banyak berbeda dan sebaik penyerapan kalsium dari susu. Pada sejumlah kecil individu dengan achlorhydria (tidak ada asam pencernaan), kalsium sitrat lebih baik penyerapannya.

Efek sampingan yang harus diperhatikan justru berasal dari bahan-bahan nonkalsium dalam suplemen itu. Konsumen harus melihat label dan apakah produknya sudah sesuai dengan standar yang berlaku.

Faktor makanan

Dalam kaitannya dengan perkembangan anak, tak kalah pentingnya adalah memperhatikan asupan zat gizi. Tak heran kalau ada produk susu yang mencantumkan kalimat “Diperkaya dengan kalsium dan zat besi”. Menurut Prof. Dr. dr. H. Ponpon S. Idjradinata, D.S.A.K, dari FK Unpad, asupan zat gizi erat kaitannya dengan tingkat kecerdasan seseorang.

Hal itu terungkap dari pengamatan sekitar 200 bayi penderita Anemia Kekurangan Besi (AKBe) berusia 12 – 24 bulan. Umumnya, Indeks Perkembangan Mental (IPM) dan Indeks Perkembangan Psikomotorik (IPP) anak-anak itu di bawah normal. Skornya hanya 80, sedangkan anak normal 100.

Dalam kerja otak, zat besi dibutuhkan untuk proses metabolisme. Jika kebutuhan zat besi kurang, metabolisme otak bisa terganggu. Akibatnya, enzim-enzim yang dipakai untuk memperlancar kerja otak juga berkurang. Lebih jauh hal itu membuat transfer energi rangsangan ke otak pun menjadi terhambat. Padahal energi ini sangat diperlukan dalam menjalankan impuls-impuls saraf dalam otak.

Karena impulsnya tidak berjalan dengan baik, maka ketajaman reaksi otak saat menerima rangsangan pun menjadi berkurang. Kekurangan zat besi pada anak sudah menjadi ancaman serius. Apalagi di saat krisis seperti ini. Menurut Ponpon, prevalensi AKBe untuk bayi berusia di bawah dua tahun sudah lebih dari 52%. Ini terlalu tinggi dibandingkan dengan Amerika yang 3%, misalnya. Sementara prevalensi bagi ibu hamil juga masih tinggi, sekitar 40%.

Demikian pula dengan wanita pekerja, yang sekitar 30%. Ponpon melihat, penyebab prevalensi kekurangan besi umumnya adalah faktor makanan. Salah satu sebabnya adalah banyaknya bayi yang diberi susu kaleng. Padahal, kadar nutrien besi yang bisa terserap bayi dari susu itu hanyalah sekitar 5 – 10% dari jumlah seluruhnya.

Sementara jika bayi diberi ASI, jumlah zat besi yang terserap usus bisa mencapai 50%. Pada kalangan dewasa, kekurangan zat besi disebabkan kecilnya konsumsi makanan yang banyak mengandung zat besi. Jenis makanan yang banyak mengandung zat besi adalah daging dan protein hewani lainnya. Harganya yang mahal, terlebih di zaman krisis, membuat peluang untuk mengkonsumsi makanan itu berkurang.

Di lain pihak, seperti yang disimpulkan Sri Rahayuningsih dalam disertasinya, pengetahuan para ibu yang tengah mengandung tentang anemia masih kurang. Padahal sikap terhadap materi pendidikan gizi dan pemeriksaan kehamilan sudah cukup baik.

Hasil penelitian itu juga mengungkapkan bahwa rata-rata zat gizi ibu hamil masih di bawah jumlah yang dianjurkan. Yang agak mengejutkan dari penelitian disertasi tersebut ialah adanya prevalensi anemia non-defisiensi besi 32,9% pada awal penelitian dan 28,4% pada akhir penelitian.

“Anemia tidak hanya disebabkan oleh defisiensi zat besi, bahkan anemia non-defisiensi zat besi ini cukup tinggi, sekitar 25%,” Sri mengingatkan.

Maka penanggulangan anemia harus lebih tepat dan menyeluruh. Kurangi minum the Berbeda dengan kalsium, zat besi jika kelebihan akan menyebabkan persoalan. Kelebihan pasokan zat besi akan disimpan di beberapa bagian dalam tubuh. Bisa di dalam hati, jantung, pankreas, persendian, dll.

Pada akhirnya hal ini akan menyebabkan kerusakan jaringan secara permanen. Jika sudah kelebihan, cara terbaik membuang kelebihan zat besi adalah melalui bloodletting (pengeluaran darah). Ini adalah tindakan dokter di mana setetes kecil darah tiap satu atau dua minggu dalam setahun dikeluarkan. Selewat itu kemudian dilakukan sekali setiap beberapa bulan. Pada wanita, menstruasi merupakan cara alamiah yang membantu. Namun, ini belum 100% melindungi mereka.

Kekurangan zat besi yang banyak diderita orang Indonesia, menurut Ponpon, umumnya disebabkan oleh faktor makanan. Jika zat besi sulit terpenuhi dari makanan sehari-hari, suplemen tentu sangat membantu. Untuk anak-anak bisa dilakukan dengan penambahan sirup besi. Hal ini sudah dikembangkan pemerintah sejak 1996 untuk masyarakat tertinggal. Sementara untuk orang dewasa digunakan pil besi.

Ini pernah dilakukan terhadap tenaga kerja wanita selama menstruasi. Hanya saja, seperti yang diingatkan oleh Ponpon, masyarakat jangan terlalu banyak minum air teh. Sebab air teh bisa menurunkan kemampuan usus dalam menyerap zat besi. Untuk anak-anak, Ponpon menyarankan lebih baik minum air putih biasa dibandingkan dengan minum teh. Untuk penggunaan suplemen, overdosis bisa menyebabkan orang dewasa jadi sakit dan anak kecil meninggal. Maka konsumsilah yang wajar.

balita-anda.com