“Dasar anak bodoh! Masa’ penjumlahan semudah ini saja nggak bisa?!”

Bayangkan ketika Anda kembali menjadi seorang anak berusia 4 tahun, lalu suatu ketika Anda mendapatkan bentakan dan omelan senada kalimat di atas saat Anda tidak bisa mengerjakan tugas hitungan Anda. Bagaimana perasaan Anda? Apa yang Anda pikirkan tentang diri Anda saat Anda menerima omelan tersebut?

Kata-kata “dasar bodoh”, “dasar pemalas”, “dasar jelek” dan sederet kata “dasar…” yang mengandung makna negatif itulah yang akan menjadi kesimpulan seorang anak terhadap dirinya. Ketika banyak input negatif yang masuk ke kepala seorang anak tentang dirinya, maka anak pun akan menilai dirinya negatif. Garbage in, garbage out. Sampah masuk, sampah keluar. Itu kaidahnya.

Lambat laun, ia akan menilai dirinya begini, “Kata mama aku anak bodoh, berarti aku bodoh dan nggak bisa apa-apa. Sekeras apapun usahaku, aku tetap anak bodoh, nggak ada artinya.”

Kebanyakan orangtua tidak menyadari bahwa mereka lebih sering menyerang “pribadi” anak daripada menyerang “perilaku” mereka. Nyaris sama, tapi dampaknya luar biasa berbeda.

Coba bandingkan kalimat di atas dengan kalimat berikut,

“Anak pintar sepertimu tentu bisa menyelesaikan tugas dengan baik. Ingat rumus yang mama ajarkan kemarin?”

Mana yang lebih enak dan menenangkan hati untuk didengar?

Reaksi kita sebagai orang tua dalam menghadapi kesalahan anak memang sering kali melahirkan kalimat-kalimat bernada negatif. Bisa jadi kita kesal, karena berulang kali memahamkan anak, ditambah dengan perilakunya yang sukar dikendalikan. Namun, itulah tugas kita sebagai orangtua. Harus mau membiasakan diri, harus lebih bersabar dalam menghadapi mereka.

Ajarkan anak untuk memberikan nilai positif terhadap dirinya. Dengan demikian, anak belajar mencintai dirinya sendiri secara positif. Ia akan berusaha membangun dirinya sebagaimana yang Anda dan orang lain harapkan darinya.