Terkadang kita melihat anak kita bertengkar baik dengan teman sebayanya, saudaranya, atau orang lain serta tidak mengakui kesalahannya. Nah, hal ini mungkin akan menjadi sebuah hal yang kurang sopan bagi anak kita, untuk itu, anda sebagai orangtua harus mengerti cara terbaik untuk membuat mereka lebih sopan santun. Terdapat beberapa langkah untuk orangtua agar dapat mengajari anaknya untuk lebih sopan terhadap orang lain.

Anak Anda bertengkar dengan adik, sepupu, atau temannya, namun menolak mengakui kesalahannya? Atau, dia enggan meminta maaf? Hal ini memang biasa terjadi, namun Anda tak boleh membiarkannya. Anak perlu diajari untuk bersedia mengakui kesalahan dan meminta maaf.

berikut 6 langkah yang dapat orangtua terapkan pada anak.

1. Beri kesempatan pada anak untuk mengungkapkan masalahnya.
Galilah dari diri anak apa yang membuatnya tidak mau/menolak meminta maaf. Baik orangtua maupun guru harus bersikap netral, tidak berpihak kepada pelaku ataupun korban. Jika berpihak, dikhawatirkan pemulihan hubungan keduanya akan semakin sulit.

2. Tidak memaksa anak meminta maaf.
Sering dijumpai orangtua yang memaksa anaknya untuk minta maaf, ” Ayo, kamu minta maaf sekarang sama adik!” Sebetulnya, cara seperti ini tidak benar dan dapat menekan anak. Semakin dipaksa untuk meminta maaf, semakin sulit bagi anak untuk melakukannya. Karena paksaan merupakan sesuatu yang tidak menyenangkan maka hal itu tak akan diulangi lagi. Atau, kalaupun mau, anak akan meminta maaf dengan terpaksa, tidak tulus.

3. Tumbuhkan empati pada anak.
Cara terbaik dengan menumbuhkan empatinya. “Kamu sudah memukul adik seperti itu. Coba, kamu pikirkan kalau kamu yang diperlukan seperti itu, bagaimana rasanya?” Mungkin anak tidak akan langsung menjawab atau berkomentar saat itu juga dengan mengatakan, “Tidak enak”, misalnya. Tapi setidaknya anak tahu, perbuatannya telah membuat orang lain menderita, terganggu, atau tersakiti.
Para ahli mengingatkan, ajari anak tata krama sedini mungkin. Jangan tunggu hingga anak besar karena bisa berabe. Bagaimana memulainya ?
DARI YANG SEDERHANA

Juga, jangan karena menganggap ia masih kecil, lantas dianggap belum penting mengajarkan tata krama. Toh, nanti pelajaran tata krama dan budi pekerti akan didapatkannya saat duduk di bangku TK atau SD. Ini anggapan yang salah. “Sebab, ia belajar di TK juga hanya sebentar, sekitar dua jam. Apa cukup pelajaran budi pekerti dan tata krama yang ia peroleh? Lagi pula, semakin ia besar, semakin sulit hal ini diajarkan.”

Kalau sejak kecil tidak diajarkan norma-norma yang baik, bisa jadi kelak ia tumbuh menjadi anak tak tahu aturan. Misalnya, masuk ke rumah orang langsung berlarian ke sana-kemari. Membuka lemari es dan mengambil isinya seenaknya, seakan-akan itu adalah lemari es ibunya.
Untuk anak batita, menurut dosen psikologi perkembangan UI ini, sebaiknya pengajaran tata krama dimulai dari kehidupan sehari-hari. Misalnya, membuang sampah harus di tempatnya, makan harus di meja makan, membaca tidak boleh sambil tiduran di lantai, sebelum makan harus cuci tangan dulu, dsb. Atau, kalau ia bertemu dengan tetangga, ajarkan ia bersalaman, mengucapkan terima kasih bila diberi oleh-oleh, dsb. “Jadi mulai dari hal-hal simpel yang terjadi dalam kehidupan sehari-harinya. Sehingga hal-hal simpel ini akan menjadi kebiasaan hingga ia besar nanti.”
Anda harus bisa memahami, perbuatannya itu tidak baik. Dia juga harus merasakan apa yang orang lain rasakan. Anak harus melihat dampak yang dia lakukan pada anak lain, bagaimana perasaan orang tersebut, dan sebagainya.

4. Berikan dorongan
Contoh, “Ibu akan senang kalau kamu mendengarkan keluhan orang lain dan kamu mau mengubah perilakumu. Ibu berharap kamu juga bisa meminta maaf atas perbuatan yang sudah kamu lakukan pada temanmu.” Harapan semacam ini tidak memberi kesan memaksa dan sok berkuasa, melainkan mengajari anak untuk bersikap terbuka dan membuatnya berpikir. Apalagi di usia ini anak sudah bisa diajak berpikir mengenai konsekuensi.

5. Kenalkan aneka cara meminta maaf
Ada berbagai cara meminta maaf, baik secara langsung maupun tidak. Ada yang lewat salaman tangan, rangkulan, sentuhan, dan cara lainnya, atau yang terbaru dengan SMS, e-mail, chat, komentar maaf di jejaring sosial seperti Facebook, Friendster, dan lain-lain.

Anak tahu mana yang paling tepat dan cocok. Biasanya dengan dibebaskan mengemukakan pendapatnya, anak akan menemukan banyak ide. Kecuali jika anak memang tak tahu caranya, maka orangtua mempunyai kesempatan untuk memberi masukan.

6. Beri toleransi waktu
Hindari menyuruh anak meminta maaf di saat itu juga. Orangtua memang harus menunggu hingga anak mau melakukannya dengan tulus tanpa terpaksa. Selanjutnya, jika anak sudah siap, orangtua bisa menjadi perantara, membantu anak untuk meminta maaf dan mendamaikan kedua anak yang berseteru.

Orang tua juga harus konsekuen. Jika ia mengajarkan anaknya harus makan di meja makan, tapi ia sendiri kalau makan sambil menonton teve, ya, tidak jalan. Orang tua pun harus melakukan apa yang diajarkan pada anaknya. “Sebab semakin besar anak, semakin kritis ia. Jika konsisten, hal ini akan jadi akar yang baik dari tingkah lakunya di masa datang.”