Imunisasi ulang massal yang dilakukan untuk memerangi penyebaran polio di Indonesia, sebenarnya masih menyisakan beberapa kejadian lanjutan. Apa saja yang perlu diperhatikan agar dampak imunisasi dapat diminimalkan.

Sebenarnya efek pascapemberian imunisasi jarang ditemukan. Pusing-pusing, diare ringan dan sakit pada otot, merupakan gejala yang hanya dimiliki sebagian kecil penerima imunisasi. Hal ini bisa terjadi karena berbagai efek, seperti efek penolakan tubuh terhadap produk farmakologi yang disusupkan, efek intoleransi dan rupa reaksi alergi. “Namun secara umum, kejadian pascaimunisasi folio sebenarnya tidak dapat`diremehkan. Karena bisa menyebabkan kematian juga,” ungkap Dr. Widodo Jurdawanto, SpA, pada keterangannya Rabu (29/6) lalu.
Hal itu menurutnya dimungkinkan saja, mengingat beberapa studi kasus yang ada dan penjelasan teoretis mengenai hal ini. Oral Polio Vaccine (OPV) yang kini banyak diberikan pada kenyataannya bisa menyebabkan kelumpuhan pada otot pernapasan manusia. Sindrom ini kemudian dikenal dengan nama Sindrom Guillain Barre (GBS). “Meskipun belum diketahui secara jelas sebab timbulnya GBS. Namun secara teoretis asupan vaksin hidup seperti OPV pada tubuh dapat berubah menjadi bentuk patogenik,” ucapnya.
Widodo juga kemudian memberi beberapa contoh kasus mengenai hal ini. Seperti di Amerika Serikat pernah dilaporkan adanya delapan kasus serupa sekitar tahun 1980-an lalu. Kemudian kasus serupa juga ditemukan pada negara lain, seperti Mesir, Filipina, Republik Dominika, Haiti dan Madagaskar. Kemudian kebanyakan ahli mulai menghubungkan kejadian ini melalui teori perubahan bentuk neurovirulen pada vaksin, yang disebabkan oleh perubahan genetik atau rekombinasi dengan enterovirus non-polio.
Menurutnya beberapa pelajaran tersebut tidaklah dapat diremehkan. Meskipun relatif jarang terjadi. Hingga Widodo menyarankan beberapa komponen yang harus diperhatikan untuk mereduksi hal ini.

Kondisi
Pertama yang ia sarankan merupakan bentuk perhatian pada kondisi kesehatan penerima imunisasi, pada saat diberikan vaksin. Sebab menurutnya kondisi tubuh yang tidak fit, menyebabkan semakin mudahnya tubuh menolak segala asupan yang ia terima. Keadaan tubuh yang sedang mengalami gangguan pencernaan, juga disarankan tidak menerima asupan vaksin polio dahulu.
Widodo juga menyarankan agar vaksin OPV tidak diberikan pada ibu yang sedang hamil. “Terutama pada empat bulan awal kehamilan,” ujarnya. Namun ia juga memberikan catatan pada keadaan mendesak, hal ini bisa saja dilakukan. Seperti misalnya si ibu hamil harus pergi ke daerah yang mengalami endemi poliomelitis.
Selain itu kalau bisa diusahakan agar pemberian vaksin polio tidak bersamaan dengan pemberian vaksin lain yang serupa atau berlainan jenisnya. “Seperti jenis Inactived Poliomyelitis Vaccine. Karena bisa menimbulkan kontra-indikasi pada anak yang memiliki bakat hipersensitif yang berlebihan,” ungkapnya.

Kerugian
Sementara dampak kejadian polio ini juga bisa merambat ke hal lain yang perlu diperhatikan juga. Seperti kemungkinan timbulnya kerugian secara ekonomi kesehatan. Seperti juga yang diungkapkan Prof. Dr. Ascobat Gani, MPH, dari Kajian Ekonomi Kesehatan FKM UI, pada kesempatan yang lain.
Menurutnya hal itu bisa terhitung besaran kerugian dari banyaknya anak yang terinfeksi polio. Sayangnya hingga tulisan ini dibuat, data tersebut belum bisa juga diberikan. Hitungan besaran masa hidup manusia Indonesia yang paling tidak selama 60 tahun. Apabila dalam umur lima tahun ia telah mengalami polio, berarti ia mengalami masa minim produktif selama 55 tahun.
Kemudian bila ia mulai berproduksi pada umur 25 tahun. Berarti kita kehilangan usia produktif anak tersebut selama kurun waktu 35 tahun. Dan kalau sehari seharusnya ia bisa menghasilkan Rp 100.000. Berarti kita kehilangan sejumlah Rp 100.000 dikalikan 365 hari dikalikan 35. Yang berarti mencapai jumlah 1.277.500.000 rupiah. Itu baru satu anak, bagaimana kalau sepuluh anak. Makin merugilah negara ini