Di sebuah negri di tepi sungai, tersebutlah sebuah desa yang penduduknya hidup dengan aman, damai, dan sangat berkecukupan. Sebagian besar penduduk desa itu bekerja sebagai saudagar barang-barang berharga. Desa itu memang terkenal kaya raya karena di desa itu terdapat tambang intan. Tapi sayangnya, penduduk desa itu suka menghambur-hamburkan uang. Padahal menghamburkan uang itu kan tidak baik ya. Kepala desa itu pun sering khawatir melihat perilaku warganya. Ia sering berjalan-jalan ke hutan sendirian sambil berpikir, apa yang seharusnya ia lakukan terhadap warga desanya. Nah, tiba-tiba pada suatu hari, saat kepala desa sedang berjalan-jalan di hutan.
” Tidaaak, jangan injak akuuuu” teriak si semut. ”Hah? Suara siapa itu? Di sini kan tidak ada siapa-siapa..!” Kepala Desa bingung sambil melihat ke kanan dan ke kiri. ”Aku di sini! Di bawah! di tanah!” semut berusaha berteriak sambil loncat – loncat supaya terdengar oleh kepala desa. ”Di tanah? Lho…apakah kau yang bicara padaku, semut?” kepala desa akhirnya melihat semut dan berjongkok supaya suara semut lebih terdengar. ”Aku tadi melamun, tapi mengapa kau sendirian saja, semut? Bukankah kau biasanya selalu bersama saudara-saudaramu?” tanya sang kepala desa.
”Itulah, tuan…hiks…hiks…aku kehilangan saudara-saudaraku…tadi ketika kami berjalan berbaris mencari makan, aku tertarik pada bunga yang jatuh di tanah. Jadi aku main-main dulu dengan bunga itu…tapi ternyata ketika aku sadar, saudara-saudaraku sudah tak ada” semut bercerita sambil menangis tersedu – sedu. ”Hmm begitu…sudahlah semut kecil, jangan bersedih. Apakah kau mau ikut denganku? Akan kuberikan kau makanan yang cukup. Lagipula…tampaknya aku butuh teman bicara..” kepala desa akhirnya memasukkan semut kedalam kotak korek api untuk dibawa kerumahnya.
”Nah, kita sudah sampai, semut. Kau akan kutaruh di rak buku dan ini janjiku, sepotong roti. Setiap bulan akan kuberikan kau sepotong roti tapi kau jangan nakal ya.” kepala desa menaruh semut kemudian mengambil sepotong roti di dapur. ”Wah, tempat ini kering dan hangat. Asik sekali. Terima kasih untuk rotinya, ya…” semut merasa senang dan mulai melahap rotinya.
Maka Kepala Desa dan Semut berteman baik. Namun tiba-tiba terjadi musibah di desa itu. Tanggul yang menahan air sungai mendadak jebol. Air mengalir deras sekali ke desa itu. Semua orang panik! Oh, kekacauan di mana-mana. Air bah menyapu bersih rumah-rumah penduduk beserta segala harta-benda warga. Tambang intan yang menjadi mata pencaharian utama para penduduk pun longsor diterjang air itu. Untung saja seluruh penduduk selamat. Mereka semua berkumpul di rumah kepala desa yang terletak di dataran yang lebih tinggi.
“Tenang..tenanglah wargaku…kalian aman di sini.” Kepala desa berusaha untuk menenangkan warganya yang masih panik. “Bagaimana kami mau tenang? Rumah dan harta benda kami semua hanyut terbawa air bah!” seorang bapak warga desa mulai panik. “Apa yang harus kami lakukan? Kami tak punya persediaan apapun!” seorang ibu pun tidak kalah panik. ”Tenang dulu…tenangkan diri kalian…sementara itu mari kukenalkan pada sahabatku, si Semut.” Sambil berkata begitu, Kepala Desa membuka kotak korek api tempat tinggal si semut.
“Lho, mengapa masih ada separuh roti di sini? Semut, apakah kau tak suka jatah roti yang kuberikan untuk satu bulan itu?” kepala desa merasa bingung. Bukan begitu, sahabatku. Aku makan sedikit-sedikit supaya jika ternyata kau lupa untuk memberiku makan atau sedang pergi, aku masih punya persediaan. Maafkan aku, sahabat, aku tak bermaksud menyinggungmu.” Semut berkata dengan nada sedikit ketakutan.
Semua orang yang berada di rumah Kepala Desa mendengar perkataan si Semut. Dan mereka semua tertegun. Si Semut yang hanya memiliki sepotong roti saja, bisa berhemat dan berpikir untuk menyimpan persediaan untuk saat-saat sulit. Seluruh warga desa akhirnya menyadari kesalahan yang mereka lakukan selama ini, yaitu menghambur-hamburkan uang dan tidak menabung. Akhirnya, setelah air bah itu reda, warga desa bahu-membahu membangun desa mereka kembali dengan apa yang ada. Mereka tidak lagi hidup berlebih-lebihan. Memang, sekarang desa itu bukan lagi desa terkaya di seluruh negri, tapi warga desa itu bahagia, aman dan tentram.