Jangan Keburu Senang Bila Anak Tenang

Jika boleh memilih, pasti tak banyak orangtua yang ingin punya anak
suka rewel. Bocah berpembawaan anteng (tenang) konon lebih gampang
diatur ketimbang yang ceriwis.

Namun, kalau kelewat tenang, waspadalah! Bisa jadi itu karena ada
gangguan pendengaran yang membuatnya tidak ngeh terhadap dunia
sekitar.

Ny.Sum (23 tahun) baru saja pulang dari Puskesmas. Dia cemas bukan
main, karena Andi, anak kesayangannya yang baru berusia 15 bulan,
ternyata harus dibawa ke dokter spesialis THT (Telinga, Hidung,
Tenggorokan). Oleh dokter di Puskesmas, Andi diduga menderita
gangguan pendengaran. Ny. Sum mulanya tak percaya. Namun, ketika
mengingat kembali gejala-gejala mencurigakan yang terjadi beberapa
bulan terakhir, ia jadi mengerti.

Ia ingat, sejak bayi, Andi tergolong anak yang tenang, bahkan
terlalu cool. Bila sedang tidur atau disusui, perhatiannya tidak
pernah terusik pada kejadian di dekatnya. Bahkan, sendok atau piring
jatuh di sampingnya tidak lantas membuat Andi terkejut. Ketika
berusia satu tahun, Ny. Sum makin yakin, ada sesuatu yang kurang
beres pada anaknya.

Anto, anak tetangganya yang seusia dengan Andi sudah dapat berkata-
kata, paling tidak mengucapkan mama, papa, mimi. Tapi Andi belum
dapat mengucapkan satu kata pun dengan jelas. Memang pada saat awal
kehamilan, ia sempat minum berbagai macam ramuan, jamu peluntur dan
berbagai macam obat untuk melancarkan menstruasi. Dia dan suaminya
masih belum ingin punya anak, sebelum kondisi keuangan keluarga
mantap.

"Kini kecurigaan berbulan-bulan itu menjadi kenyataan," bisik Ny.
Sum lirih

Kurang akustik

Organ pendengaran merupakan salah satu modal vital. Manusia sebagai
makhluk sosial dapat hidup, berkembang, belajar, serta menikmati
kehidupan secara utuh, salah satunya karena memiliki kemampuan
berbicara.
Nah, gangguan perkembangan indera pendengaran pada bayi dan anak
jelas akan mempengaruhi kemampuan mereka berbicara. Gangguan itu
dapat terjadi dalam berbagai tingkat, mulai gangguan ringan, sedang,
berat, sampai sangat berat.

Proses mendengar sendiri merupakan rangkain kejadian yang diawali
dengan adanya suara atau bunyi yang ditangkap oleh daun telinga.
Bunyi itu lalu diteruskan melalui liang telinga, sehingga dapat
menggetarkan gendang telinga. Setelah menggetarkan gendang telinga,
energi akustik akan diperbesar oleh rangkaian tulang pendengaran
untuk kemudian diteruskan ke telinga dalam.

Di telinga dalam, energi akustik diubah menjadi impuls listrik,
sehingga dapat diteruskan ke saraf pendengaran. Oleh saraf
pendengaran, impuls itu dikirim ke pusat persepsi pendengaran di
otak, dalam bentuk "jadi". Maksudnya, sebagai suara atau bunyi yang
sesuai dengan frekuensi, intensitas, dan harmoni nada yang saat itu
didengar. Jika ada organ pendengaran yang terganggu, rangkaian yang
telah tertata rapi itu tentu akan berantakan.

Ribetnya, kerusakan pada organ pendengaran tidak hanya bisa menimpa
orang dewasa, tak pandang pria atau wanita, serta tak mengenal usia.
Penyakit ini bisa muncul di berbagai fase kehidupan, mulai dari bayi
dalam kandungan, ketika proses kelahiran, saat bayi baru lahir, di
masa pertumbuhan, masa kanak-kanak, hingga dewasa, bahkan lanjut
usia.

Yang suka telat diantisipasi biasanya gangguan pendengaran pada bayi
atau anak. Bayi dan anak yang menderita kerusakan organ pendengaran
tidak bisa mendengar suara dan bunyi-bunyian di sekitarnya, lantaran
lemahnya informasi akustik atau sama sekali tidak ada informasi
akustik yang sampai di pusat persepsi pendengaran. Kalau dibiarkan
terus, bisa melemahkan fungsi sel-sel pendengaran di telinga dalam,
saraf pendengaran, dan pusat persepsi pen-dengaran.

Bayi pun tidak dapat mendengar dengan baik. Jika masih dibiarkan
juga, bayi atau anak tidak akan memiliki kemampuan berbicara atau
tuli bisu (deaf-mute).

Tak terganggu petir

Banyak faktor yang memungkinkan bayi dan anak mengalami gangguan
pendengaran. Mari kita mulai dari fase paling dini, yakni saat bayi
berada dalam kandungan.
Penyebab gangguan pendengaran pada bayi dalam kandungan bisa karena
faktor genetik (keturunan) dan non-genetik. Gangguan yang disebabkan
faktor genetik masih jarang ditemukan, biasanya dirunut berdasarkan
riwayat gangguan pendengaran menurut garis keturunan.

Sebaliknya, gangguan akibat faktor non-genetik sering dijumpai.
Misalnya, karena upaya pengguguran kandungan, defisiensi zat gizi
pada masa kehamilan, pemakaian obat yang bersifat meracuni fungsi
pendengaran, seperti kina, streptomisin, garamisin, neomisin,
salisilat, dan lain-lain. Bisa juga karena infeksi atau virus,
seperti infeksi toksoplasma, rubella, herpes, sifilis, campak, serta
parotitis yang terjadi pada saat kehamilan.

Pada fase pertumbuhan bayi dan anak, penyebab gangguan pendengaran
mungkin saja datang dari beberapa infeksi berat yang disebabkan
bakteri dan virus, seperti meningitis dan ensefalitis. Selain itu,
masih ada beberapa penyakit infeksi saluran napas atas yang sering
diderita bayi dan anak, yakni infeksi dinding tenggorok dan amandel,
infeksi hidung, dan infeksi sinus di sekitar hidung. Semuanya
berpotensi menimbulkan infeksi telinga, yang bisa berujung pada
gangguan pendengaran.

Penyebab lain yang dapat menyerang organ pendengaran bayi dan anak
adalah kotoran telinga nan padat, benda asing di liang telinga
seperti manik-manik, kacang, dan lain-lain. Juga alergi hidung yang
tidak ditangani dengan baik.

Lalu, bagaimana cara menangkap gejala gangguan pendengaran, agar
penanggulangannya tak terlambat?

Ciri-ciri bayi atau anak yang menderita gangguan pendengaran, saat
tidur tidak pernah terbangun, meskipun ada suara atau bunyi keras
atau gaduh di sekitarnya. Bahkan bunyi petir sekalipun tidak
membuatnya kaget. Gejala ini patut diwaspadai, karena bayi yang baru
lahir lazimnya terkejut (mengedipkan mata), menarik kedua tangan dan
tungkainya bila ada orang bertepuk tangan pada jarak 30 - 50 cm di
samping telinganya.

Pada umur 3 - 5 bulan, orangtua dapat melakukan pemeriksaan
sederhana dengan cara sebagai berikut: saat bayi terjaga, ibu
menggendongnya, sedangkan bapak atau anggota keluarga lain bertepuk
tangan atau membunyikan sendok atau piring pada jarak 2 m di
belakang si bayi, sehingga tidak terlihat. Ibu memperhatikan respons
bayinya, apakah ia terkejut atau adakah gerakan mata atau upaya
menggerakkan kepala mencari sumber bunyi? Bila bayi merespons
(terkejut dan menggerakkan kepala mencari sumber bunyi), berarti dia
dapat mendengar. Namun, bila tidak, upayakan untuk memeriksakannya
ke dokter.

Cara lain, perhatikan perkembangan wicara bayi. Pada umumnya, bayi
berusia 4 - 6 bulan su-dah mulai dapat mengoceh bubling, terutama di
pagi hari. Ketika memasuki usia 7 - 10 bulan, mulai dapat mengatakan
dua suku kata, seperti da-da atau ta-ta. Pada saat bayi berusia 9 -
13 bulan, ia sudah dapat mengucapkan mama atau papa. Nah, bila
sampai usia tersebut bayi Anda masih belum menunjukkan kemampuan
berbicara yang berarti, tidak ada salahnya membawanya ke dokter.

Penanganan terpadu

Ketika bayi mulai memasuki usia kanak-kanak, orangtua bisa mengenali
kemungkinan adanya gangguan pendengaran, dengan memantau
perkembangan kemampuan berbicara anak mereka.
Anak yang menderita gangguan pendengaran, biasanya menunjukkan
keterlambatan perkembangan berbicara, kesalahan dalam pelafalan,
atau pengucapan kata bila dibandingkan dengan rata-rata anak
seusianya. Kondisi itu menandakan kemungkinan adanya gangguan
pendengaran yang tidak terlalu berat.

Namun, bila anak sama sekali belum dapat berbicara sesuai usianya,
kemungkinan ia menderita tuli berat pada kedua telinga atau
mengalami kelainan lain yang perlu diperhatikan. Misalnya, afasia
motorik, cereberal palsy atau kecacatan otak lain. Karena menyangkut
faktor-faktor yang cukup kompleks, penanganan penyakit gangguan
pendengaran ini sebaiknya tidak dilakukan sembarangan.

Penanganan bayi dan anak yang pendegarannya terganggu mesti
dilakukan dengan memperhatikan jenis, tingkat keparahan, serta usia
pasien. Diperlukan kerja sama antara dokter spesialis THT, dokter
spesialis anak, psikolog serta ahli terapi wicara untuk menentukan
kelainan apa yang sebenarnya diderita. Pemeriksaan itu akan
menentukan apakah bayi atau anak hanya mengalami gangguan
pendengaran, kelainan otak, atau malah gabungan dari keduanya.

Setelah diketahui hasil pemeriksaan, baru dapat ditentukan program
rehabilitasi atau habilitasi yang diperlukan. Bila ada gangguan
pendengaran berat, penggunaan alat bantu dengar yang tepat dan
sesuai sangat dianjurkan untuk merangsang saraf pendengaran dan
pusat persepsi pendengaran. Upaya stimulasi pendengaran bayi dengan
melatihnya mengucapkan kata-kata sederhana, seraya membelai rambut
dan tubuhnya, perlu dilakukan untuk membantu perkembangan saraf
pendengaran dan psikologi anak.

Pada anak dengan gangguan pendengaran berat yang telah mencapai usia
sekolah, Sekolah Luar Biasa B merupakan sarana yang pantas
dipertimbangkan, agar pengembangan diri anak tak terganggu. Upaya
deteksi dini dan penanganan memadai, melalui rehabilitasi dan
habilitasi pendengaran, memang masih menjadi jalan terbaik dalam
menurunkan tingkat kecacatan pen-dengaran. Upaya ini akan berhasil
bila ikut melibatkan peran aktif dari orangtua, terutama ibu.

Peran ibu amat sentral, karena ibulah yang selalu berada dekat bayi
dan anaknya, sehingga dia lebih cepat mengetahui kelainan
perkembangan sang anak. Pengamatan ibu terhadap perkembangan
pendengaran dan kemampuan wicara bayi atau anaknya sering berhasil
mendeteksi gangguan pendengaran pada tahap paling dini. Pengamatan
yang paling gampang adalah membandingkan perkembangan kemampuan
wicara bayi dengan bayi lain yang seusia. Bila hasil pengamatan tadi
menunjukkan kecurigaan adanya gangguan pendengaran, segera
periksakan bayi atau anak ke rumah sakit.

Untuk mencegah bayi-bayi terganggu pendengarannya, ibu memang harus
lebih peka terhadap perilaku anaknya yang tidak biasa.

Penulis: dr. Hari Purnama, Sp.THT. d Jakarta