Orang tua harus lebih kritis terhadap lingkungan tempat tumbuh kembang anak. Polutan bisa menggerogoti masa tumbuh kembang si kecil.

Banner Register
Banner AKP
Banner Register

Pada awal kelahirannya Oswin dan Osbert, tak ubahnya bayi-bayi lain yang lucu, sehat dan menyenangkan. Tak ada tanda-tanda atau indikasi penyakit serius yang mengancam kehidupan kedua anak itu. Namun seiring berkembangnya waktu, Oswin (yang kini berumur 4 tahun), dan Osbert (2 tahun) tumbuh melalui masa-masa yang sangat rumit. Tak kurang dari selusin dokter telah berhubungan dengan kedua anak ini, demi menormalkan tumbuh kembang kakak beradik ini.

Untuk membantu penglihatannya Oswin harus menggunakan kacamata minus 6 dan minus 6,5 dan Osbert minus 5. Oswin harus menggunakan NGT (selang untuk makan) agar dapat tetap menerima asupan makanan dan minuman. Ketika anak lain sudah bisa berlarian pada usia tersebut, untuk duduk saja Oswin membutuhkan bantuan. Sudah dua kali ia masuk ruang gawat darurat rumah sakit di Jakarta, karena infeksi paru-paru dan sesak napas. Pertumbuhan Osbert juga mengkhawatirkan. Ketika berusia 4 bulan, ia belum bisa membalikkan badannya. Perkembangan selanjutnya juga menunjukkan penurunan kemampuan motoriknya.

Upaya kedua orang tua anak itu untuk mengetahui penyakit yang menimpa Oswin dan Osbert, belum menunjukkan hasil menggembirakan. Bahkan jenis penyakitnya pun belum ada kesimpulan tegas dari dokter. Hanya hasil uji rambut terhadap kedua anak itu yang mengindikasikan adanya masalah berat. Oswin dan Osbert terdeteksi mengalami keracunan logam berat, Hg (merkuri), Pb (timbale) dan Cd (cadmium). Tapi hasil ini masih harus ditindaklanjuti dengan tes darah.

“Sebenarnya, saya tidak 100% yakin bahwa semua yang terjadi pada anak saya adalah total akibat polutan. Tapi, saya yakin bahwa bukan hal yang normal bisa terdapat sekian banyak zat polutan dalam tubuhnya,” ujar Terry, ibu Oswin dan Osbert. Ia tak mengerti bagaimana logam berat dapat bersarang di tubuh kedua anaknya. Namun Kejadian pada kedua anak itu, memberi indikasi bahwa ada polutan di sekitar mereka yang kemudian masuk ke dalam tubuh. Akibat pencemaran udara, air, makanan, atau hal lain yang lebih serius?

Amankah Lingkungan di Sekitar Anak Kita?

Zat polutan pada lingkungan dikatakan beresiko tinggi terhadap kesehatan tubuh jika telah melewati ambang batas tertentu. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) DKI Jakarta sempat mengadakan studi yang menyimpulkan bahwa ibu-ibu di pinggiran kota memiliki ASI berkadar timbal 10-30 ug per kilogram. Kadar ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tinggal di pedesaan, yakni hanya 1-2 ug per kilogram. Polutan timbal yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar minyak, dapat memicu gangguan kesehatan kaum perempuan dan balita. Tingginya kandungan timbal pada sisa pembakaran bahan bakar minyak itu, antara lain karena digunakannya Pb sebagai campuran demi meningkatkan perfoma mesin kendaraan.

Beberapa tahun lalu United Nations Environmental Programme (UNEP) juga menempatkan Jakarta sebagai kota terpolusi nomor tiga di dunia setelah Meksiko dan Bangkok. Sebagian besar kendaraan bermotor di kota-kota besar masih menggunakan bahan bakar fosil seperti Hidrogen (H) dan Karbon monoksida(CO), karbon dioksida (CO2) juga Nox. Selain menyebabkan infeksi saluran pernapasan (ISPA), cemaran asap knalpot itu juga mengancam kecerdasan anak.

Penelitian PBB terbaru melaporkan, sebanyak 5500 anak meninggal setiap harinya akibat penyakit yang di sebabkan oleh air dan makanan yang tercemar zat polutan. Polutan juga telah memakan jutaan korban anak. Hasil penelitian WHO menambahkan 1-3 masalah kesehatan global disumbang dari efek polutan di lingkungan. Lebih dari 40 persen resiko ini menyerang anak usia di bawah 5 tahun.

Bagaimana Lingkungan yang Baik untuk Tumbuh Kembang Anak?


Hasil penelitian Kevin Lynch bisa menjadi acuan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Penelitian yang dilakukan pada tahun 1971-1975 itu, menyimpulkan bahwa lingkungan yang terbaik adalah yang mempunyai komunitas yang kuat secara fisik dan sosial, komunitas yang mempunyai aturan yang jelas dan tegas, memberikan kesempatan bermain untuk anak, memiliki fasilitas pendidikan yang memungkinkan anak untuk mempelajari dan menyelidiki lingkungan dan dunia mereka.

Penelitian ini sejalan dengan pernyataan UNICEF bahwa anak-anak harus mendapatkan keamanan dan kenyamanan, hingga dapat bebas bermain, belajar, dan berinteraksi. Mengacu pada hasil penelitian tersebut, maka faktor penentu tumbuh kembang anak bukan hanya gizi dan kesehatan. Faktor lingkungan juga memiliki pengaruh yang penting terhadap tumbuh kembang anak. Oleh karena itu, orang tua perlu memberi perhatian terhadap lingkungan sehari-hari tempat anak beraktivitas dan berinteraksi.

Salah satu musuh utama yang mengancam lingkungan tumbuh kembang anak adalah polutan. Menurut dokter kesehatan masyarakat Departemen Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, DR.Dr. Rachmadi Purwana SKM, polutan yang kerap masuk ke tubuh anak yaitu Pb (Timbal) dan Hg (Air raksa). Polutan tersebut, mempengaruhi kesehatan organ-organ tubuh anak dan berdampak pada proses tumbuh kembang anak.

Polutan timbal muncul dari proses pembakaran yang tidak sempurna pada bahan bakar kendaraan bermotor dan mesin-mesin pabrik. Menyebar melalui asap sisa pembakaran yang kemudian terhirup manusia. Sedangkan polutan air raksa dapat meracuni manusia melalui cairan atau makanan tercemar, atau uap yang terhirup. Dua logam berat itu selanjutnya dapat terakumulasi ke otak, menyebabkan pengerutan jaringan otak sehingga fungsi otak menurun, atau menghambat pembentukan darah, yang menyebabkan anemia. Di luar ancaman penurunan tingkat kecerdasan, udara yang tercemar logam berat dan zat-zat polutan juga dapat memicu bronchitis, pneumonia, asma serta gangguan fungsi paru.

Proses masuknya polutan ini tak hanya melalui kontak langsung misalnya pernapasan, kulit, dan sebagainya, Namun juga meracuni bayi yang sedang dikandung. Salah satu, penyakit akibat polutan pada anak yang di transfer dari ibu ini di kenal dengan penyakit minamata yang di ketemukan di desa Minamata, Jepang. Kasus pencemaran yang menyebabkan kelahiran cacat dan kematian bayi itu, di sebabkan oleh tingginya kadar merkuri pada ikan yang si konsumsi para ibu di jepang.

Rachmadi menjelaskan air raksa (merkuri) yang bersifat logam dapat berubah menjadi merkuri organik yang dapat larut di dalam air. Merkuri logam akan di ubah oleh bakteri dengan menyumbangkan zat organik ke dalam merkuri logam sehingga berubah menjadi merkuri organik. Merkuri organik ini memiliki akses ke plankton/jasad renik yang menjadi makanan ikan. Dampak dari mengkonsumsi ikan-ikan yang tercemar merkuri tidak langsung terlihat, namun akan terakumulasi dalam tubuh, termasuk merusak pertumbuhan janin dalam kandungan.

Pada fase kehamilan bayi menyerap nutrisi dari si ibu. Termasuk semua komponen merkuri yang mengalir dalam darah ibu akan ikut ditransfer ke bayinya. Jika air raksa masuk ke dalam tubuh perempuan hamil, anak-anak yang dilahirkan akan mengalami cacat tubuh yang sifatnya tanpa kaki, tanpa tangan atau bentuk kepala tidak beraturan. “Namun jangan langsung menyimpulkan bahwa anak atau ibu yang mempunyai gejala tersebut, akibat terkena dampak polutan,” Rachmadi mengingatkan.

Gejala Keracunan Polutan

Gejala-gejala keracunan polutan, akan sangat tergantung zat yang menyebabkannya. Misalnya, gejala yang di timbulkan karena keracunan merkuri antara lain mengeluarkan air ludah secara terus-menerus, sulit berbicara, telinga berdenging, dan mata kabur. Bahkan, jika terkena jaringan saraf tremor bisa menyebabkan jaringan saraf psikonis bisa menyebabkan paralisis atau kelumpuhan serta sesak nafas.

Sedangkan pencemaran timbal pada anak, akan menyebabkan perkembangan lambat, gangguan konsentrasi dan gerak motorik, anak layu atau mengalami anemia secara tiba-tiba. Anak-anak dengan gejala-gejala tersebut sebaiknya menjalani pemeriksaan medis lebih lanjut. Di masyarakat, dampak cemaran polutan pada anak ini memang tidak mudah dikenali. Rachmadi menjelaskan, satu kasus penyakit dengan gejala seperti akibat polutan, bisa diakibatkan oleh beragam sebab (multiple cause).

Identifikasi gejala keracunan makin rumit, karena satu zat beracun juga bisa menyebabkan beragam efek. Misalnya, pada anak yang mengalami penurunan kecerdasan bisa disebabkan oleh merkuri dan timbal, atau zat pencemar lainnya. Padahal di suatu daerah bisa terdapat bermacam-macam polutan. Penyakit akibat polutan di suatu lingkungan, baru bisa dipastikan jika daerah tersebut mengalami kasus lingkungan, seperti kebocoran limbah, dan sebagainya. “Pada kasus tertentu, penderita pingsan atau meninggal sehingga bisa langsung terdeteksi karena keracunan zat polutan kadar tinggi. Namun yang lebih sering terjadi, polutan dari lingkungan meracuni tubuh secara perlahan, dan sering tidak diketahui pangkalnya,” kata Rachmadi.

Penanganan penyakit akibat polutan memiliki sifat dilematis. Karena kemungkinan dipicu oleh penyebab lain. Untuk menentukan zat-zat berbahaya yang mencemari tubuh, perlu dilakukan penelitian lebih komprehensif melalui tes laboratorium kuku, rambut, darah, dan air seni. Untuk mengetahui tinggi rendahnya paparan merkuri, dilakukan pemeriksaan rambut. Sedangkan, pemeriksaan darah bertujuan untuk mengetahui kadar keracunan yang diakibatkan oleh timbal. Kemudian dilakukan pemeriksaan genetik. Sayangnya, di Indonesia pemeriksaan tersebut sulit diaplikasikan akibat tingginya biaya yang harus dikeluarkan.

Kesulitan mendeteksi penyakit akibat polutan juga disebabkan jarak antara paparan zat polutan dengan timbulnya penyakit, cukup jauh. Untuk memastikan bahwa penyakit seseorang diakibatkan zat polutan, dibutuhkan penelusuran sejarah kehidupannya. Misalnya, kondisi dan sifat daerah tempat tinggalnya, pola konsumsi, sejak masa kanak-kanak, hingga dewasa. “Tidak mudah mengklaim seseorang terkena efek polutan meski sudah dilakukan penelitian dan penelusuran yang panjang. Hasilnya pun baru bisa di katakan beresiko terkena efek polutan,” kata Rachmadi.

Perbedaan dampak polutan pada anak antara lain disebabkan oleh perbedaan system imun yang mampu menyaring polutan, sehingga tingkat kemudahan untuk menyerap polutan tidaklah sama. Masing-masing anak memiliki “kandungan” yang berbeda, yang dapat menjadi “akseptor” polutan. Misalnya, anak yang mengalami kekurangan zat besi dan kalsium akan lebih mudah menyerap timbal. Kedua mineral tersebut mampu mendesak Pb keluar dari tubuh. “Polusi susah sekali direduksi. Alternatifnya, diet seimbang dari unsur protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan makanan kaya antioksidan seperti jeruk, jambu merah, bayam, dan anggur,” ujar Rachmadi.

Di sinilah peran orang tua untuk mengamati perkembangan anak sedetail mungkin. Selain itu, orang tua juga perlu di bekali pengetahuan mengenai zat-zat polutan. Terutama mewaspadai kondisi lingkungan di sekitar dan dalam rumah. Salah satu sumber polutan dan zat beracun adalah mainan anak-anak. Waspadai mainan anak yang permukaannya tampak mengkilap, karena bisa jadi pelapis timbal untuk memberi efek kilap tersebut. “Karena ketidaktahuan, orang tua secara tak sengaja memberi asupan polutan pada anak. Untuk itu, orang tua perlu lebih cerdas memilih segala sesuatunya untuk anak,” katanya.

Konsultasi Gratis dengan Ahli Gizi

Data Ibu

Hanya boleh berupa huruf

Format nomor handphone 08xxxxxxxxxx

  • Password harus memiliki minimal 8 karakter
  • Password harus memiliki setidaknya 1 huruf besar
  • Password harus memiliki setidaknya 1 huruf kecil
  • Password harus memiliki setidaknya 1 angka
  • Password harus memiliki setidaknya 1 karakter khusus (misalnya ., *, !, ? atau semacamnya)

Data Anak

Silakan isi data anak atau anak yang termuda.